Pilpres 2024

Peta Pilpres 2024 di NTB Versi Ali BD, Potensi Suara Pemilih Prabowo Pindah ke Anies atau Ganjar

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kolase foto nomor urut pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pilpres 2024 yang telah ditetapkan oleh KPU, Selasa (14/11/2023). Ali BD menyebut Anies Baswedan bisa mendominasi raihan suara di NTB, yang mendapat limpahan suara pemilih yang beralih dari Prabowo.

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Mantan Bupati Lombok Timur dua peride Ali Bin Dachlan (Ali BD) mengungkap peta politik Pilpres 2024.

Menurutnya, akan ada tarik-menarik perebutan suara di kalangan para santri pondok pesantren (Ponpes) serta organisasi keislaman.

Dia melihat, Capres-Cawapres atau petinggi partai politik yang ke NTB sekurangnya mengagendakan sowan ke pimpinan Ponpes.

"Kalau bersifat lokal NTB ini pasangan Capres dan Cawapresnya nomor urut 2 ini bisa tampil unggul. Prabowo bisa mempertahankan suara pada Pemilu 2019 silam," ucap Ali BD, Senin (4/12/2023).

Rektor Universitas Gunung Rinjani (UGR) ini menjelaskan, baik Capres maupun Caleg punya potensi raihan suara berdasarkan pertimbangkan kesamaan keyakinan.

Baca juga: Ganjar Pranowo Sebut Ketua DPD PDIP NTB Rachmat Hidayat sebagai sebagai Figur Langka

Ali BD menyebut Anies Baswedan bisa mendominasi raihan suara di NTB, yang mendapat limpahan suara pemilih yang beralih dari Prabowo.

Namun dalam perkembangannya, Prabowo yang menggandeng putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka, kembali mengubah peta di NTB.

"Sebagian akan migrasi ke AMIN, ada tambahan tapi tidak signifikan. Kemungkinan besar, Prabowo yang dulu saat lawan Jokowi tetap akan unggul lalu nomor dua Anis dan ketiga Ganjar Mahfud," lanjutnya.

Calon lainnya seperti Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud menurutnya hanya bisa meraih 28-30 persen suara.

Ali BD menyebut Prabowo yang meraih hampir 70 persen suara di NTB pada Pilpres 2019, akan kembali mendominasi.

Baca juga: Ketua Demokrat NTB IJU Perintahkan Kader di KLU untuk Memenangkan Prabowo-Gibran Satu Putaran

Meskipun angkanya menurun hingga menjadi 50 persen.

Faktornya adalah komposisi Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran, Faurani, yang notabene Ketua Kadin NTB.

Ali BD mengatakan, tampilnya orang nonparpol sebagai ketua tim di NTB ini dinilai bisa leluasa bergerak.

"Bagus orangnon partai leluasa bergerak. Karena tak punya ketersenggolan dengan partai pendukung dalam cari dukungan," ungkapnya.

Ali BD pun menilai semua paslon Pilpres bekerja keras untuk satu putaran.

Namun apabila berlangsung dua putaran, maka patut peralihan dukungan suara dari paslon yang tersingkir.

"Kemungkinan dua atau satu putaran itu 50-50. Nomor 1 ataupun 2, juga melakukan pendekatan dan langkah-langkah kalau terjadi dua putaran," imbuhnya.

Wakil Dekan Fisipol Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat) Rossy Maunofa menjelaskan politik identitas dengan melihat agama dan etnisitas dalam dinamika politik Indonesia saat ini sudah bukan hal yang baru.

Mengingat Indonesia memiliki keberagaman suku, agama, ras dan budaya.

"Hal tersebut pada batas tertentu dapat menjadi identitas tertentu tak terkecuali di bidang politik," ucapnya.

Di NTB, kata dia, politik identitas yang menyentuh agama sudah secara terang terangan dilakukan, semisal dengan banyaknya para tuan guru ataupun kiyai yang terjun ke dalam politk.

Baca juga: Prabowo Subianto Bangga Diantar ke KPU dengan Mobil Buatan Anak Indonesia

Dalam konteks demokrasi, Rossy menilai tidak ada yang salah berpolitik dengan mendasarkan pada identitas tertentu.

Selagi tetap dijalankan dalam koridor konstitusi dan tidak melabrak aturan perundang-undangan yang lainnya.

"Hal yang salah dan tidak dibenarkan, ketika memilih mendasarkan pada pertimbangan agama atau etnis dibarengi atau sembari menjelek-jelekan agama atau etnis lain, mengabaikan prinsip-prinsip toleransi atau keharusan harus berbuat baik terhadap sesama manusia," tegasnya.

Rossy menjelaskan, politik identitas di NTB dapat dilihat dari adanya pengelompokan masyarakat menjadi dua kubu, misalnya lahirnya para masyarakat yang pro terhadap organisasi A dan ataupun organisasi B.

"Keduanya bagai ikon yang menunjukkan polarisasi masyarakat berdasar dengan identitas politik tertentu. Tak jarang pula, keduanya juga saling menjatuhkan untuk menggalang suara terbanyak," tutupnya.

(*)

Berita Terkini