Walhi NTB Dorong KPK Evaluasi Izin Pertambangan di NTB

Penulis: Lalu Helmi
Editor: Maria Sorenada Garudea Prabawati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ED Walhi NTB Amri Nuryadin

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Lalu Helmi

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Walhi NTB menyebut sejumlah proyek strategis nasional di NTB belum mendatangkan berkah bagi rakyat NTB.

Dari sederet rencana strategis Nasional, baik itu proyek pertambangan, pariwisata, pertanian dan kehutanan, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah salah satu daerah yang menjadi fokus sejumlah proyek tersebut.

Namun, keberadaan project strategis nasional dan investasi skala besar sangat jauh dari harapan mendatangkan berkah bagi rakyat NTB, sebaliknya justeru telah meninggalkan berbagai kerugian dan kerusakan alam di NTB.

Artinya bahwa seluruh proyek strategis nasional di NTB, tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi rakyat justeru berdampak serius hingga terjadinya kerusakan ekologi baik Kawasan hutan maupun pesisir.

Bahkan kenyataannya, masyarakat NTB masih hidup dalam kemiskinan yakni termasuk dalam urutan kedelapan dari sepuluh (8 dari 10) daerah termiskin di Indonesia.

Salah satu sektor memberikan kontribusi sangat besar terhadap laju kerusakan dan memiliki daya rusak luar biasa terhadap hutan di NTB adalah sektor ekstraktif yaitu pertambangan beserta infratstruktur pendukungnya yang di bangun dalam Kawasan Hutan konservasi dengan konsesi atau permit yang diperoleh dari pemerintah (IPPKH/Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dll); jumlah Izin Usaha Pertambangan di NTB antara lain : IUP Eks sebanyak 39 : 36698,44 Ha, IUP Op sebanyak 216 : 91613,14 Ha.

Baca juga: Proyek Kereta Gantung Rinjani Telan Anggaran 600 Miliar, WALHI Minta Kajian Mendalam

Ancaman perusakan lingkungan dikawasan hutan terutama disebabkan oleh operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar, baik diwilayah hutan maupun pesisir.

Sejumlah pertambangan besar yang menguasai lahan dalam wilayah hutan dan pesisir antara lain:  PT. Aman Mineral Nusa Tenggara (dahulu PT. NNT) dengan luas 125.341,42 Hektar di Kabupaten Sumbawa Barat.

Dan industri tambang yang sedang memulai eksplorasinya yaitu PT. STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u dompu dengan luas 19.260 hektar yang merupakan wilayah Kawasan hutan di Hu’u Dompu (masuk dalam KPHL-Toffo Pajo), begitu pula dengan Proyek Smelter di Kabupaten Sumbawa Barat yang digadang akan dibangun oleh dua perusahaan besar, yaitu: PT. CHina Nonferrous Meta Industry Foreign Engineering Construction Co., Ltd (NFI), dan PT. PIL Indonesia.

Selain pertambangan berizin, di NTB juga tercatat bahwa maraknya illegal mining atau tambang illegal (Pertambangan tanpa izin) diantaranya adalah di Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa juga menjadi penyebab kerusakan hutan dan ekologi yang juga menjadi penyebab terjadinya bencana banjir di banyak wilayah di NTB.

"Dari hasil investigasi Walhi NTB tahun 2020 Tercatat bahwa luas Kawasan hutan di NTB sluas 1,07 Juta Hektar adapun lahan kritis dalam Kawasan Hutan di NTB telah mencapai 578.000 hektar sedangkan sisanya mengalami keterancaman atau potensial mengalami kerusakan/kritis. Artinya bahwa hampr 60 % hutan di NTB sudah rusak parah dan perlu perhatian yang maksimal oleh pemerintah NTB," kata ED Walhi NTB Amri Nuryadin pada Kamis, (23/6/2022).

Lebih jauh, ia mengatakan bahwa proyeksi pembangunan dan investasi di Nusa Tenggara Barat saat ini sudah seharusnya memperhatikan beberapa regulasi yang menunjukkan “Lex Spesialis” atau kekhususan wilayah NTB sebagai wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.

NTB memiliki gugusan pulau besar dan kecil (280 buah pulau dengan 44 pulau yang berpenghuni dan seluruh pulau tersebar di 10 wilayah; Di Kabupaten Lombok Barat terdapat 38 buah pulau, Lombok Tengah 20 buah pulau, Lombok Timur 35 buah pulau, Sumbawa Barat 15 buah pulau, Sumbawa 62 buah pulau, Dompu 23 buah pulau dan Bima sebanyak 84 buah pulau).

Seluruh wilayahnya adalah berbatasan langsung dengan pesisir dan laut sehingga dalam menempatkan dan melaksanakan pembangunan serta proyeksi investasi di NTB musti mempertimbangkan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar pembangunan ataupun investasi yang tengah dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak sekedar “pro investasi tapi juga pro rakyat serta menjaga ekologi” terutama feasibility (kelayakan) dan certainty (kepastian) secara ekonomi serta dan propriety (kepatutan) secara social budaya.

Halaman
12

Berita Terkini