Penembakan Massal di Texas: Amerika Tempat Paling Berbahaya di Dunia dan Bunuh Dirinya Sendiri

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky.

TRIBUNLOMBOK.COM- Amerika Serikat merupakan tempat paling berbahaya di dunia dan membunuh dirinya sendiri.

Demikian antara lain reaksi dunia atas insiden penembakan massal murid Sekolah Dasar (SD) dan guru mereka di Texas Amerika Serikat, Selasa 24 Mei 2022.

Umumnya politisi dan media di seluruh dunia bereaksi dengan perasaan ngeri, tidak habis pikir mengenai aksi nekat seorang remaja pria bersenjata berusia 18 tahun.

Baca juga: Sosok Remaja 18 Tahun Tembak Mati 19 Murid SD di Ruang Kelas Uvalde Texas AS

Baca juga: Gedung Putih Perintahkan Kibar Bendera Setengah Tiang Setelah Insiden Mematikan di Texas

Dia telah membunuh 19 anak dan dua orang guru dalam penembakan massal di Texas, Amerika Serikat (AS).

Penembakan massal di SD Texas pada Selasa (24/5/2022) itu merupakan kasus ke-27 penembakan di institusi pendidikan AS sepanjang tahun ini. Demikian menurut laporan The Guardian.

Hal yang agak mengherankan, politisi Negeri Paman Sam malah menanggapi formalitas saja, cukup berkomentar, tapi tak banyak yang diperbuat.

Senator Republik asal Texas Ted Cruz bahkan menyerukan “lebih banyak senjata” diperlukan di sekolah-sekolah.

“Kami tahu dari pengalaman masa lalu bahwa alat paling efektif untuk menjaga keamanan anak-anak adalah penegakan hukum bersenjata di kampus,” kata Cruz kepada MSNBC.

Para pejabat China hingga Ukraina dan laporan media internasional melihat insiden itu dengan penuh keprihatinan.

Keprihatinan dan kritik dari pemimpin dunia

Di Ukraina yang hancur, Presiden Volodymyr Zelenskiy mengatakan dia “sangat sedih dengan pembunuhan anak-anak yang tidak bersalah”.

Rakyat Ukraina, kata dia, berbagi rasa sakit dengan kerabat dan teman para korban, dan semua orang Amerika.

Presiden Prancis Emmanuel Macron, menggambarkan pembantaian itu sebagai aksi "pengecut" dan mengatakan Prancis turut merasa terkejut dan sedih dan mendukung perjuangan “mereka yang berjuang untuk mengakhiri kekerasan".

Beberapa sekutu mempertanyakan mengapa Amerika Serikat - dengan hak konstitusionalnya untuk memanggul senjata dan lobi senjata yang kuat - tidak dapat mengatasi kekerasan senjata, yang merenggut rata-rata 111 nyawa sehari.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, yang sedang mengunjungi AS menunjukkan bagaimana pemerintahnya memperketat undang-undang senjata, setelah seorang supremasi kulit putih membunuh 51 orang di dua masjid di Christchurch pada 2019.

"Kami adalah orang-orang yang sangat pragmatis. Ketika kami melihat hal seperti itu terjadi, semua orang berkata, 'Jangan pernah lagi,'" katanya kepada CBS "Late Show."

Di Australia, yang melarang senjata semi-otomatis setelah penembakan massal pada 1996, Bendahara Jim Chalmers mengatakan kepada wartawan, "Sulit membayangkan bahwa negara besar seperti AS dapat terus seperti ini, dengan kekerasan senjata ini, kekejaman massal ini. ."

China, yang terus-menerus menghadapi kritik AS terhadap hak asasi manusia, menyorot minimnya tanggapan AS atas kekerasan senjata atau diskriminasi rasial di negaranya sendiri sebagai masalah yang "tidak dapat menerima".

"Bagaimana orang bisa mengharapkan pemerintah AS, (yang) bahkan tidak peduli dengan hak asasi manusia rakyatnya, untuk benar-benar memperhatikan situasi hak asasi manusia di negara lain?" kata juru bicara kementerian luar negeri Wang Wenbin dikutip dari AFP.
Membunuh dirinya sendiri

The Global Times, sebuah surat kabar nasionalis China yang dikendalikan negara, mengatakan penembakan di Texas mengungkap "kegagalan" AS yang disebutnya "tempat paling berbahaya di dunia."

Sementara itu harian Prancis Le Monde menyorot penembakan massal AS berturut-turut seminggu terakhir, dari pembunuh Uvalde, pria bersenjata yang merenggut 10 nyawa di Buffalo, maupun penembakan di sebuah gereja California.

Semua itu menurut Le Monde tidak mendorong "perlindungan hukum apa pun yang mungkin memperumit akses ke senjata api yang mereka gunakan".

“Ada pembantaian di sekolah AS, kesedihan tak berujung bagi kerabat, keprihatinan mendalam di pidato kepresidenan – lalu tidak ada apa-apa (dilakukan), sampai yang berikutnya,” kata Le Monde dalam editorialnya.

“Amerika membunuh dirinya sendiri, dan partai Republik berpaling. Pembelaan soal amandemen kedua (konstitusi AS) dalam pengertiannya yang paling absolut sekarang menjadi tugas yang setengah-suci, luput dari semua kritik. Selalu lebih banyak senjata: itulah satu-satunya kredo Partai Republik.”

Amandemen Kedua terhadap Konstitusi Amerika Serikat melindungi hak individu untuk memegang dan membawa senjata.

Amandemen ini disahkan pada 15 Desember 1791 sebagai bagian dari "Bill of Rights". Le Monde dalam laporannya mencatat bahwa orang Amerika membeli hampir 20 juta senjata api pada 2021, penjualan tertinggi kedua dalam sejarah.

“Mereka juga mengalami lebih dari 20.000 kematian akibat senjata api, belum termasuk bunuh diri. Namun Partai Republik jelas tidak dapat membangun hubungan sebab akibat.”

Spanyol memiliki analisis yang sama, lelah dengan insiden demi insiden tapi tanpa tindakan berarti.

“Penembakan massal adalah bagian penting dari kehidupan AS, mereka memiliki aturannya sendiri,” tulis korespondensya, Iker Seisdedos. Lebih lanjut dia menyorot soal bagaimana AS yang hanya memiliki 4 persen dari populasi dunia, tetapi memegang hampir setengah dari pistol dan senapan terdaftar di planet ini.

"Ini adalah drama yang berulang, yang tampaknya tidak ingin diakhiri oleh anggota parlemen Amerika - meskipun mereka bisa."

Artikel ini telah tayang di Kompas.com berjudul Reaksi Ngeri Dunia atas Penembakan Massal di SD Texas: Amerika Membunuh Dirinya Sendiri

 

Berita Terkini