Polemik Royalti Musik

IHGMA Surati LMKN, Minta Dialog Terbuka soal Mekanisme Penagihan Royalti Musik

Metode penagihan royalti secara mendadak disertai somasi berisiko menciptakan ketegangan yang tidak perlu. 

|
Penulis: Sinto | Editor: Idham Khalid
Dok. Istimewa
POLEMIK ROYALTI MUSIK - Ketua bidang hukum IHGMA. Pihaknya telah menyurati LMKN untuk meminta klarifikasi dan mengusulkan dialog terbuka terkait mekanisme penagihan royalti.  

Laporan Wartawan Tribunlombok.com, Sinto

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TENGAH - Indonesia Hotel General Manager Association (IHGMA) telah menyampaikan surat resmi kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk meminta klarifikasi dan mengusulkan dialog terbuka terkait mekanisme penagihan royalti pemutaran musik. 

Namun hingga saat pernyataan ini dibuat, surat tersebut belum mendapatkan balasan.

“Kami berharap LMKN dapat segera merespons agar proses komunikasi dapat berjalan konstruktif dan menghindari kesalahpahaman di lapangan," jelas Ketua Bidang Hukum IHGMA Erick Herlangga saat dikonfirmasi Tribun Lombok, Kamis (14/8/2025). 

Erick Herlangga yang juga Advokat dan Kurator serta Konsultan Hukum Pariwisata, juga menyampaikan pandangannya terkait dinamika penagihan royalti musik oleh LMKN terhadap pelaku usaha hotel dan restoran.

Menurut Erick, perlindungan hak cipta adalah bagian penting dari ekosistem industri kreatif. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2021 telah memberi mandat kepada LMKN untuk memastikan pencipta lagu dan musik memperoleh haknya.

"Namun, saya menilai bahwa pelaksanaan aturan ini harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian, proporsionalitas, dan komunikasi yang efektif dengan para pelaku usaha," jelas Erick. 

Erick menekankan bahwa metode penagihan mendadak disertai somasi, apalagi tanpa verifikasi atau klarifikasi, berisiko menciptakan ketegangan yang tidak perlu. 

Beberapa kasus yang ia tangani menunjukkan adanya tagihan kepada hotel yang tidak memutar musik di area publik atau bahkan ke kamar hotel yang hanya menayangkan siaran TV kabel resmi. 

"Padahal Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta mengatur kewajiban royalti untuk pertunjukan untuk umum, yang secara hukum berbeda dengan ruang privat sementara seperti kamar hotel," tegas Erick. 

Erick meminta LMKN perlu berhati-hati dalam menginterpretasikan pasal, karena penafsiran yang terlalu luas bisa melampaui maksud sebenarnya dari undang-undang. 

Sebelum menagih, seharusnya ada dialog, sosialisasi, dan kejelasan kriteria agar pelaku usaha memahami dasar perhitungannya,” ujar Erick.

Baca juga: Hotel di Mataram Ditagih Royalti Musik Rp2 Juta/Tahun, Diancam akan Disomasi LMKN

Ia juga mengingatkan bahwa somasi yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi pengirimnya, baik secara perdata maupun pidana.

"Prinsip tanggung jawab hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa perbuatan yang merugikan pihak lain tanpa dasar yang sah dapat digugat sebagai perbuatan melawan hukum," sebut Erick. 

Erick menutup pernyataannya dengan ajakan agar semua pihak menjaga komunikasi yang sehat demi tercapainya tujuan bersama.

Menurutnya, dengan pendekatan yang saling menghormati, pencipta musik dapat menerima haknya secara layak, sementara industri perhotelan tetap dapat beroperasi tanpa beban sengketa yang menguras energi.

(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved