Opini
Jalan Panjang dan Berkelok Pemajuan Kebudayaan NTB
Kita memiliki daftar Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK), tetapi sekadar menjadi katalog yang dibukukan.
Oleh: Harianto
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Hukum telah berpihak pada kebudayaan. Itu kabar baiknya. Provinsi NTB sejak 2021 sudah memiliki Perda Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pemajuan Kebudayaan. Bahkan, diperkuat dengan Pergub yang memberi rambu-rambu pelaksanaan teknis. Tapi apakah yang telah dijanjikan oleh regulasi itu benar-benar menemukan tubuhnya di ruang kehidupan masyarakat?
Di atas kertas, komitmen itu memang nyata. Tapi di atas tanah di lokasi situs-situs budaya yang terlantar, di ruang kelas yang miskin narasi sejarah dan muatan lokal, di gedung-gedung kesenian yang sunyi dari geliat program kebudayaan masih menunggu dengan sabar untuk diurus lebih layak. Perda itu seakan menjadi mantra yang belum menemukan lidah pemiliknya. Pergub hanya menjadi penunjuk arah yang jarang ditapaki kaki birokrasi.
Inilah potret ironi dari pembangunan kebudayaan yang kehilangan substansi. Kita memiliki daftar Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK), tetapi sekadar menjadi katalog yang dibukukan. Kita punya situs sejarah, namun tidak tercatat, tidak dijaga, dan tak menjadi bagian dari narasi kolektif yang ditanamkan dalam pendidikan dasar. Kita bicara tentang warisan budaya tak benda, tetapi hanya untuk didata, bukan dibina.
Di balik semua itu, pertanyaannya yang menggema adalah bagaimana mungkin kebudayaan dimajukan jika kelembagaan yang mengurusnya tidak diperkuat, penganggarannya minim atau bahkan nihil, dan programnya dipinggirkan?
Kebudayaan bukan sekadar peninggalan masa lalu, tapi fondasi bagi masa depan. Bangsa yang besar tidak semata diukur dengan angka pertumbuhan ekonomi, tapi juga oleh keteguhan jati dirinya. Jati diri itu bertumbuh dari keberanian merawat akar sejarah, membina nilai-nilai, serta memelihara ekspresi seni dan tradisi yang hidup dalam masyarakat.
Di titik ini, kebijakan pemajuan kebudayaan seharusnya tidak berhenti pada jargon. Ia harus dijalankan sebagai rencana aksi yang konkret, terukur, dan berkelanjutan.
Lalu bagaimana rencana aksi kebudayaan NTB dijalankan hari ini?
Sejauh ini, belum ada ekosistem yang benar-benar dibangun. Pendataan situs budaya masih belum tuntas. Pembinaan terhadap guru muatan lokal dan sejarah tidak menjadi prioritas.
Pendidikan kebudayaan belum menjadi arus utama dalam sistem pendidikan formal. Bahkan, dalam konteks Merdeka Belajar yang memberi ruang lebih luas untuk kearifan lokal, respons daerah masih sangat terbatas.
Kita hanya menemukan upaya sporadis, seperti lomba dokumentasi makanan tradisional oleh siswa. Ini langkah kecil yang patut diapresiasi. Tetapi langkah kecil saja tidaklah cukup untuk menjawab tantangan yang lebih besar.
Pemajuan kebudayaan membutuhkan keberpihakan nyata seperti anggaran yang layak, kelembagaan yang kuat, dan tata kelola yang inklusif. Tanpa itu semua, Perda Pemajuan Kebudayaan tak lebih dari hiasan dinding pemerintahan.
Jika kita cermati lebih dalam, akar masalahnya terletak pada tidak seriusnya tata kelola kebudayaan di daerah. Fungsi kelembagaan kebudayaan belum mendapat tempat yang proporsional. Ia masih menjadi “anak tiri” dalam struktur birokrasi.
Kewenangan terbatas, sumber daya manusia terbatas, dukungan anggaran pun terbatas. Padahal, kebudayaan adalah bidang yang lintas sektor dan menuntut kolaborasi antara pendidikan, pariwisata, ekonomi kreatif, bahkan lingkungan hidup.
Kelembagaan yang lemah tidak akan mampu merancang peta jalan kebudayaan daerah. Apalagi mengorkestrasi gerakan pelindungan dan pemanfaatan objek kebudayaan secara sistematis. Ketika kelembagaan tak kuat, maka pemajuan budaya hanya akan menjadi seremonial: festival musiman, lomba-lomba kultural, atau perayaan adat yang difoto, diunggah, lalu dilupakan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.