Opini
Menata Lumbung: Mewujudkan Ketahanan Pangan Desa di NTB
Desa membutuhkan sistem cadangan pangan yang kuat dan terencana. Tidak cukup hanya mengandalkan rumah tangga menyimpan gabah di dapur.
Oleh: Khotibul Umam Zain
Asisten Peneliti di Lombok Research Center (LRC).
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Di Desa Lando, Kecamatan Terara, sebuah lumbung kecil berdiri di tepi sawah. Bagi sebagian orang, bangunan beratap seng ini mungkin terlihat sederhana. Namun bagi warga desa, inilah penyelamat saat musim paceklik. Lumbung ini adalah bagian dari Lumbung Pangan Masyarakat (LPM), program yang ditujukan untuk menjaga pasokan pangan lokal, khususnya saat krisis atau bencana datang.
Desa Lando termasuk sedikit dari 56 desa di Lombok Timur yang sudah memiliki dan mengelola LPM aktif. Sayangnya, dari total 239 desa yang ada, sebagian besar belum memiliki sistem cadangan pangan yang mapan. Padahal, Lombok Timur sering disebut sebagai lumbung pangan Provinsi NTB. Potensi besar ini bisa menjadi kekuatan, atau justru kelemahan—tergantung pada bagaimana kebijakan dikelola.
Dalam kajian Lombok Research Center (LRC) yang bertajuk Optimalisasi Penguatan Desa Mandiri Pangan Dalam Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan di Kabupaten Lombok Timur yang dilakukan oleh tim peneliti lintas disiplin, ditemukan sejumlah fakta yang menggugah. Di satu sisi, desa-desa di Lombok Timur memiliki kekuatan: petani aktif, irigasi tersedia, penyuluh pertanian berperan, dan gudang penyimpanan individu mulai digunakan.
Namun di sisi lain, terdapat kelemahan yang tak bisa diabaikan: minimnya gudang kolektif desa, rendahnya akses pasar, jumlah penyuluh yang belum mencukupi, serta rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gizi dan kesehatan.
Kondisi ini membuat upaya menjaga ketahanan pangan menjadi timpang: produksi ada, tetapi distribusi dan penyimpanan belum dikelola dengan baik. Akibatnya, saat panen raya, harga anjlok dan hasil tak terserap. Sebaliknya, saat musim paceklik atau krisis, desa justru harus membeli kembali hasil buminya sendiri dengan harga tinggi.
Ketahanan Pangan Tak Cukup dari Produksi
Ketahanan pangan bukan semata soal menanam dan panen. Ia juga soal penyimpanan, akses, distribusi, hingga edukasi konsumsi. Sayangnya, pendekatan kebijakan selama ini cenderung fokus pada produksi dan melupakan bagaimana hasil panen dimanfaatkan atau diamankan secara kolektif.
Desa membutuhkan sistem cadangan pangan yang kuat dan terencana. Tidak cukup hanya mengandalkan rumah tangga menyimpan gabah di dapur. Harus ada sistem desa yang didukung kelembagaan kuat seperti LPM, didampingi oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan diarahkan oleh kebijakan yang progresif dari pemerintah daerah.
Regulasi sebenarnya sudah tersedia.
Permendesa PDTT No. 8 Tahun 2022 dan PMK No. 108 Tahun 2024 bahkan mewajibkan alokasi minimal 20 persen Dana Desa untuk program ketahanan pangan. Sayangnya, pemanfaatannya belum optimal. Banyak desa belum punya peta jalan (roadmap) ketahanan pangan, atau tidak menjadikan isu ini sebagai prioritas penganggaran yang membutuhkan perhatian yang serius.
Solusi Desa Mandiri Pangan yang Inklusif
Konsep Desa Mandiri Pangan yang diusulkan dalam kajian tersebut menawarkan empat prinsip utama, yaitu berbasis potensi lokal, partisipatif, terintegrasi, dan inklusif.
Artinya, desa harus diberdayakan untuk mengelola potensi pangan lokal secara berkelanjutan, melibatkan semua kelompok (termasuk perempuan, pemuda, dan kelompok rentan), serta membangun sistem dari hulu ke hilir dari produksi, pengolahan, distribusi, hingga edukasi konsumsi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.