Menengok Keberadaan Langgar Melayu Kuno di Kota Bima yang Kini Berumur 416 Tahun

Kota Bima menyimpan cerita bernilai sejarah dan sarat dengan nilai-nilai religi di setiap sudutnya.

Penulis: Toni Hermawan | Editor: Endra Kurniawan
TRIBUNLOMBOK.COM/TONI HERMAWAN
Langgar Melayu Kuno yang berada di Kelurahan Melayu, Kecamatan Asakota, Kota Bima. Surau ini terbangun pada tahun 1608 dan sempat menjadi mushalla dan kini difungsikan menjadi TPQ. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Toni Hermawan

TRIBUNLOMBOK.COM, KOTA BIMA - Kota Bima menyimpan cerita bernilai sejarah dan sarat dengan nilai-nilai religi di setiap sudutnya.

Termasuk satu di antaranya Langgar Melayu kuno berdinding kayu dengan cat berwarna kuning yang berada RT 14 RW 06, Kelurahan Melayu, Kecamatan Asakota, Kota Bima.

Atap bangunan tua ini terbuat dari seng yang sudah mulai berkarat dan beberapa bagian terlihat, di dalam langgar masih tersimpan beduk asli terbuat dari kulit hewan. Sementara beberapa tiang penopang langgar ini mulai berkelupas.

Baca juga: Kisah Bambang Supratomo Pernah Jadi Marbot Masjid Hingga Konsultan Perusahaan Swedia

Pengurus Langgar Melayu Kuno, Rahmi menceritakan sampai saat ini tidak diketahui siapa sosok yang membangun langgar ini, bahkan sejarawan pun tidak ada yang mengetahui sehingga masih menjadi misteri hingga kini.

"Untuk siapa yang membangun Langgar ini belum ada yang tahu," kata Rahmi mengawali ceritanya saat ditemui, Selasa (19/3/2024) sore.

Ia melanjutkan, sejak dibangun hingga saat ini tidak ada yang berubah dari banguan langgar ini tahun 1608 atau berumur 416 tahun.

Langgar Melayu Kuno yang berada di Kelurahan Melayu, Kecamatan Asakota, Kota Bima. Surau ini terbangun pada tahun 1608 dan sempat menjadi mushalla dan kini difungsikan menjadi TPQ.
Langgar Melayu Kuno yang berada di Kelurahan Melayu, Kecamatan Asakota, Kota Bima yang digunakan untuk TPQ (TRIBUNLOMBOK.COM/TONI HERMAWAN)

Lewat cerita-cerita turun temurun, diketahui di sekitar Langgar Melayu Kuno ini sebelum menjadi permukiman ada sebuah dermaga atau pelabuhan yang menjadi persinggahan pedagang hingga mubalig yang menyiarkan Islam.

"Bangunanya tidak ada berubah masih seperti dulu," katanya melanjutkan cerita.

Sebelumnya tempat ini dijadikan mushalla untuk warga sekitar, langgar sempat terbengkalai, bahkan di sanggar dulunya banyak pepohonan dan sapi ataupun kambing banyak berkeliaran hingga akibatnya kotor dengan kotoran ternak. Namun waktu itu kakek Rahmi dan masyarakat sekitar membersihkannya.

"Itu zaman kakek buyut bersama masyarakat dibersihkan daripada tidak terpakai dijadikan TPQ," katanya mengenang.

Baca juga: Jejak Islam di Masjid Lebai Sandar Ampenan, Simpan Benda Bersejarah hingga Sumur Tua

Terlihat di halaman langgar ini pun bertuliskan dilindungi Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Kendati demikian, langgar ini direnovasi pemerintah sekitar tahun 2019.

"Saat itu pemasangan pagar, tembok, pavin, perbaikan kamar mandi dan perbaikan beberapa saja," tambah wanita berhijab ini.

Hingga kini, langgar yang terbangun tahun 1608 ini tetap difungsikan untuk mengajar ngaji anak-anak, muridnya pun hingga 50 orang. Ketika Ramadhan anak-anak mengaji waktu sore dan di luar bulan suci langgar ini dipergunakan mengaji mulai sore hingga malam harinya.

"Kalau sore ini buat anak-anak yang rumahnya jauh dari sini, kalau malam untuk anak dekat sini, karena murid yang ngaji disini juga ada berasal dari luar Kelurahan Melayu," kata Rahmi menutup ceritanya.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved