Nahdlatul Wathan

Pendiri Nahdlatul Wathan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Dikagumi Ulama Dunia

Pendiri Nahdlatul Wathan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan sosok yang dikagumi dan dihormati para ulama lain dari berbagai negara.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
Pendiri Nahdlatul Wathan Maulana Syaikh TGKH Muhammad Zainududdin Abdul Madjid dengan karyanya Sholawat Nahdlatain. 

TRIBUNLOMBOK.COM - Pendiri Nahdlatul Wathan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tidak hanya dikenal para jemaahnya.

Sosok perintis perjuangan Nahdlatul Wathan ini juga dikenal disegani ulama dari luar negeri.

Sebelum pulang mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal sebagai murid cerdas saat menuntut ilmu di tanah suci Arab Saudi.

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid oleh para ulama pada masanya dikenal dengan panggilan Alimul Ampenan.

Dia merupakan alumni madrasah tertua di tanah suci Makkah, Arab Saudi.

Catatan pendidikannya tesimpan rapi di hati setiap Masyaikh ash-Shaulatiyah.

Baca juga: Berikut 3 Bidang Pergerakan Utama Organisasi Nahdlatul Wathan

Bagaimana tidak, karena kedatangannya di madrasah Ash-Shaulatiyah menghidupkan gairah ilmu.

Dia kemudian menjadi sosok ulama karismatik. Walau demikian, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid hidup di tengah masyarakat biasa sebagaimana masyarakat pada umumnya.

Dengan izin Allah SWT, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majdid di kalangan pengikutnya merupakan iqtida’an hasanatan (panutan yang mulia) dalam berbagai aspek kehidupan.

Baik dalam perbuatan maupun tutur kata.

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majdid memiliki fisik yang sehat sempurna dan segar bugar.

Tidak heran dia berumur lebih dari seratus tahun menurut kalender hijriah.

Itu merupakan tanda kemuliaan yang tinggi, serta pertanda Allah telah memilihnya sebagai kekasih-Nya.

Murid yang Cerdas

Suatu hari TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid muda datang ke Ash-Shaulatiyah dengan penuh harap, untuk menimba ilmu agama.

Dibawanya ijazah sekolah dasar yang pada saat itu masih bernama sekolah rakyat untuk mendaftar di Ash-Shaulatiyah.

Ternyata ijazah itu tidak menjadi syarat masuk di sana.

Siapa pun yang ingin masuk bisa menjadi bagian ash-Shaulatiyah, termasuk TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid muda pada saat itu.

Akan tetapi dia harus mengikuti ujian masuk. Saat itu Zainuddin diuji oleh salah seorang syaikh muda bernama Hasan bin Muhammad.

Hari itu beliau langsung menguji Muhammad Zainuddin, ujian berlangsung beberapa waktu.

Hasil tes keluar dengan hasil sangat memuaskan dan tidak dibayangkannya.

Berdasarkan hasil tes dia langsung diterima di kelas tiga.

Akan tetapi zainuddin muda meminta agar memulai kelas dari kelas dua. Permintaanya pun diterima oleh Syaikh tersebut.

Murid yang masuk itu ternyata murid yang sangat luar biasa. Dia mengikuti kegiatan belajar dengan mudah, yang menyebabkan guru-gurunya harus memiliki metode yang berbeda untuk mengajarnya.

Dia bukanlah murid biasa dengan kemampuan biasa, dia adalah murid yang luar biasa dengan kemampuan belajar yang sangat cepat.

Akhirnya gurunya yang mengajar di kelas dua menyadari, dia tidak cocok di kelas dua. Sehingga dilaporkan ke mudir (kepala madrasah).

Dewan guru mengadakan rapat untuk menaikkan kelasnya.

Sidang yang sangat istimewa, karena Muhammad Zainuddin tidak dinaikkan ke kelas tiga. Namun langsung dinaikkan ke kelas empat.

Akhirnya setelah dinaikkan ke kelas empat, dia menjalani hari-harinya belajar.

Sungguh di kelas in ipun dia mengungguli teman-temannya, guru di kelas empat juga merasa kesulitan untuk mengajar murid super cerdas ini.

Muhammad Zainuddin sama sekali tidak mengalami kesulitan mengikuti pelajaran.

Menghadapi kelas Zainuddin, guru-guru harus belajar ekstra sebelum memasuki kelas Zainuddin.

Para alim ulama itu harus benar-benar siap sebelum memasuki kelas Muhammad Zainuddin.

Meski para ulama itu kerepotan ketika mengajar Zainuddin, mereka sangat bangga memiliki murid yang super cerdas tersebut.

Di kelas empat Muhammad Zainuddin muda juga mendapat banyak teman yang sudah mengenyam pendidikan lebih lama dan umurnya lebih tua daripada Zainuddin.

Akan tetapi, lagi-lagi dia membuat temanya di kelas empat geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin anak dari Lombok itu tidak mengalami kesulitan dalam semua mata pelajaran.

Maulana Hasan juga begitu riangnya jika mengajar di kelas Zainuddin.

Bahkan Maula Hasan sering membawa kitab karangannya untuk ditashih (koreksi) oleh Zainuddin.

Maulana Hasan menyatakan muridnya yang satu ini adalah ulama yang berhak mentashih kitab karangan ulama.

Itulah sanjungan Maulana Hasan, salah seorang ulama yang disegani oleh ulama sedunia.

Zainuddin telah mendapat di tempat khusus di hati para ulama Haramain tersebut.

Para kawan di sebelahnya juga menyadari keahlian Zainuddin. Dia mendapat pujian dari Syaikh Amin al-Kutbi, madah Syaikh Salim, ikrar Syaikh Hasan Masysyath, dan sanjungan kawan-kawannya.

Semua itu bukan semata pujian, itu semua adalah bahasa batin dan nyanyian jiwa para ulama besar itu.

Ketika selesai menimba pendidikan di ash-Shaulatiyah, kehilangan itu amat nyata. Kehilangan yang sangat teramat oleh pribadi ulama besar bernama as-Syaikh Salim Rahmatullah (mudir).

Kecintaanya terungkap lewat bahasanya yang sangat dalam, seperti "Cukuplah ash-Shaulatiyah punya satu murid saja, asalkan seperti Zainuddin. Dia kerap bermimpi, adakah murid yang seperti Zainuddin kembali atau yang mendekati kealimannya?.

Dikutip dari buku “Keagungan Pribadi Sang Pencinta Maulana” Zainuddin adalah anak emas yang dilahirkan oleh alam, dan dibesarkan pleh ash-Shaulatiya.

Zainuddin adalah kekasih Allah yang dirasakan hikmahnya oleh ash-Shaulatiyah sepanjang zaman.

Dengan berjalannya waktu, pada akhirnya tiba masanya Zainudin meninggalkan ash-Shaulatiyah.

Kepergiannya merupakan kehilangan terbesar madrasah tertua di tanah suci Makkah itu.

Salah satu cerita kehilangan terucap dari guru mulia Maula al-Syaikh Hasan al-Masysyath:

ذهب العلم “Ilmu telah pergi”.

Beliau juga mengatakan ash-Shaulatiyah telah kehilangan ahli ilmu, ash-Shaulatiyah kehilangan kebanggaannya, ash-Shaulatiyah telah redup sinarnya. Sosok Zainuddin tidak dilihatnya sebagai murid semata.

Tetapi Zainuddin adalah representasi ahli ilmu dan kepulangannya ke Indonesia adalah kehilangan bagi ash-Shaulatiyah.

Kini setelah sekian puluh tahun Maulana al-Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid meninggalkan madrasah ash-Shaulatiyah. Namanya masih menggema di Makkah al-Mukarramah.

Al-Syaikh Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki sekembalinya dari ziarah tahun 1980-an, di depan murid-muridnya dia berujar, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah manusia yang tiada duanya.

Dia berkata: ما فيه قده في العالم “Zainuddin tida duanya di dunia.”

(*)

Tulisan ini merupakan karya Ruhul Qudus, mahasiswa IAIH NW Lombok Timur

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved