Sri Mulyani Jelaskan Penyebab Rupiah Melemah hingga Rp 15.100 Per Dollar Amerika Serikat
Sri Mulyani menjelaskan, penguatan dollar Amerika Serikat memukul nilai tukar seluruh mata uang di dunia. Indonesia pun terkena imbasnya.
TRIBUNLOMBOK.COM, JAKARTA - Mata uang rupiah terus melemah hingga menembus angka Rp 15.100 per dollar Amerika Serikat ( AS).
Kenyataan tersebut memancing perhatian publik. Cemas menyertainya. Pemerintah RI melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan penjelasan soal penyebabnya.
Baca juga: Harga BBM Naik, Sri Mulyani: Kita Akan Memantau Dampak Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Baca juga: Kondisi Ekonomi Indonesia dan Sri Lanka Berbeda, Luhut dan Sri Mulyani Beri Penjelasan
Sri Mulyani menjelaskan, penguatan dollar Amerika Serikat memukul nilai tukar seluruh mata uang di dunia. Indonesia pun terkena imbasnya.
Dikatakannya, penguatan dollar AS itu tak lepas dari kebijakan Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuannya.
"Indeks dollar mengalami penguatan hingga 110. Kalau dollar menguat berarti lawan mata uang lainnya, terutama emerging market, mengalami depresiasi. Semakin kuat dollar berarti lawannya semakin melemah," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (26/9/2022).
Sri Mulyani menjelaskan, tekanan pasar keuangan global yang sempat mereda kembali mengalami bergejolak, terutama di sepanjang September 2022.
Kondisi ini antara lain dipengaruhi kebijakan moneter Federal Reserve atau The Fed yang masih tetap hawkish.
Pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) 22 September 2022, The Fed menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin menjadi di kisaran 3 persen-3,25 persen.
Adapun diproyeksikan hingga akhir tahun suku bunga The Fed akan naik mencapai 4,4 persen.
Kebijakan moneter bank sentral AS Kebijakan pengetatan moneter itu, dilakukan Bank Sentral AS sebagai respons dari melonjaknya inflasi AS.
Tingkat inflasi AS per Agustus 2022 mencapai 8,3 persen, memang lebih membaik ketimbang Juli 2022 yang sebesar 8,5 persen, namun inflasi intinya atau core inflation tetap tinggi di 6,3 persen.
"(Inflasi yang tinggi) membuat semua bank sentral semua negara merespons dengan kebijakan menaikkan suku bunga dan melakukan pengetatan likuiditas. Seperti AS, selama tahun 2022 sendiri sudah naik 300 basis poin," kata Sri Mulyani.
Kebijakan moneter AS itu pada akhirnya membuat terjadinya aliran modal asing keluar (capital outflow) dari negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Kondisi tersebut membuat nilai mata uang negara-negara berkembang pun kian melemah karena tertekan dollar AS.
"Outflow dari negara-negara emerging ini di alami berbagai negara, termasuk kita. Bahkan dalam hal ini dialami oleh Afrika Selatan, Brasil, termasuk Tiongkok. Ini tentu akan menimbulkan tekanan terhadap sektor keuangan," jelasnya.