Laporan Khusus
Gunung Tambora, Kopi dan Cuan yang Belum Dilirik
Pengembangan kopi di kawasan Gunung Tambora memiliki sejarah panjang. Bahkan disebut-sebut sebagai pengembangan industri kopi pertama di Provinsi NTB.
Penulis: Atina | Editor: Sirtupillaili
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Atina
TRIBUNLOMBOK.COM, BIMA - Cerita Gunung Tambora bukan hanya soal letusannya.
Tapi juga soal vegetasi luar biasa, yang terbentuk dari letusan dahsyat Gunung Tambora 2 abad lalu.
Wilayah Gunung Tambora kini berada di dua kawasan wilayah administrasi, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.
Di dua daerah ini, jejak letusan Gunung Tambora terekam dengan jelas.
Hamparan sabana yang dipenuhi batu-batu vulkanis menjadi saksi bisu gunung yang dulu memiliki tinggi 4.300 meter itu pernah memuntahkan isi perutnya dengan dahsyat. Sehingga kini tingginya hanya 2.851 meter.
Sekira 20 tahun lalu, pertama kali menapakkan kaki di kawasan Tambora maka akan tercium wangi bunga dari pohon buah mente.
Selain itu, terdengar riuh suara ayam hutan dan beberapa jenis burung lain yang terbang bebas dari pohon ke pohon.
Semakin memasuki bagian dalam kawasan kaki Gunung Tambora, hamparan perkebunan kopi tersaji dengan apik.
Baca juga: Mendaki Lewat Kebun Kopi Tambora, Dicegat Ribuan Pacet Penghisap Darah
Di wilayah Gunung Tambora yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bima, terdapat satu desa yang sejak dulu tersohor dengan kopi.
Desa tersebut bernama Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima.
Kopi di desa ini tumbuh liar dan menjadi pagar pembatas lahan warga.
Kopi yang tumbuh subur ini semakin menunjukkan betapa luar biasanya alam di kaki Gunung Tambora.
Kopi di Gunung Tambora memiliki sejarah panjang.
TribunLombok.com menemui seorang sejarawan Bima, Alan Malingi untuk menelusuri jejak-jejak perkembangan kopi Tambora.
Perkebunan Kopi Pertama Dibuka Pengusaha Asal Swedia
Alan Malingi menuturkan, pada tahun 1930 seorang pengusaha asal Swedia, Gosta Bjorklund membuka perkebunan kopi seluas 56.000 hektare di lereng barat dan utara Gunung Tambora.
Pada masa itulah, kopi Tambora mulai terkenal hingga mancanegara.
Alan mengatakan, Tambora tidak hanya dikenal dengan letusan dahsyatnya.
Namun kaya akan pesona dan komoditi andalan yang sangat penting bagi pengembangan sosial ekonomi, pariwisata, dan budaya serta sektor lainnya.
Satu di antaranya, komoditi andalan di lereng Tambora adalah Kopi Tambora.
Sejak Zaman Kolonial Belanda, banyak orang-orang Jawa yang dipekerjakan di areal perkebunan kopi Tambora.
Sehingga tidak mengherankan jika nama camp-camp di areal tersebut, bernuansa Jawa seperti Afdelin Sumber Rejo dan Afdelin Sumber Urip.

Perkebunan Kopi Tambora adalah kawasan perkebunan kopi, yang terletak di lembah bagian utara Gunung Tambora pada ketinggian tempat 700 meter dari permukaan laut.
Merupakan Lahan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 500 Ha.
Dari luas tersebut, baru 254 hektare yang terisi.
Sisanya 246 ha masih dalam keadaan kosong.
Selain tanaman kopi, juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang.
Seperti bangunan prosesing 1 unit, lantai jemur 5 unit, perkantoran 1 unit, sarana ibadah 1 unit,sarana pendidikan 1 unit, dan perumahan karyawan 31 orang.
Pada awalnya cerita Alan Malingi, perkebunan Kopi Tambora dikelola oleh PT Bayu Aji Bima Sena (PT BABS) Jakarta selaku pemegang Hak Guna Usaha (HGU) sesuai keputusan Mentri Dalam Negeri Nomor : 21/HGU/DA/77 tanggal 19 juni 1977.
Perusahaan ini memperkerjakan karyawan sebanyak 192 orang.
Namun sejak tahun 2001, PT. BABS tidak aktif lagi mengelola kebun kopi Tambora.
Hal itu ditandai dengan ditinggalkannya penelantaran perkebunan kopi beserta aset dan karyawan yang ada di dalamnya.
HGU PT BABS berakhir pada tanggal 31 Desember 2001 dan tidak diperpanjang lagi sampai saat ini.

Sejak tahun 2002, pengelolaan perkebunan kopi Tambora diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bima untuk menyelamatkan aset dan mata pencaharian warga tidak hilang.
Pada saat pengambilan alihan kata Alan, keadaan perkebunan Kopi Tambora sangat memprihatinkan.
Tanaman Kopi yang produktif hanya 80 ha dari luas tanaman 254 ha.
Produktif kopi hanya sekitar 150 kilogram per hektare.
Kemudian, terjadi penjarahan hasil produksi kopi oleh masyarakat sekitar.
Tuntutan biaya hidup oleh karyawan yang ditelantarkan PT BABS.
Sedangkan karyawan yang bertahan hanya tinggal 63 orang.
Setelah diambil alih, keadaan perkebunan kopi Tambora dari tahun ke tahun semakin membaik.
Kini luas tanaman kopi yang produktif berkembang menjadi 146 hektare pada 3 blok.
Diantaranya Sumber Rejo 52 ha, Sumber Urip 29 ha, dan Besaran 65 ha.
Produksi kopi pun naik, menjadi 450 kilogram per hektare.
Total produksi kopi yang dapat dihasilkan sekitar 30-40 ton pertahun.
Hingga berujung pada peningkatan pemasukan PAD antara Rp 200 juta hingga Rp 300 juta per tahun.
"Tapi tergantung dari hasil produksi juga," ungkap penulis Nika Baronta ini.
Alan Malingi mengatakan, kopi Tambora yang terinspirasi dari sejarah dan nama besar Gunung Tambora selayaknya dikembangkan dan dipromosikan dalam kemasan kopi bubuk berlabel Kopi Tambora.
Sehingga akan menjadi produk dan komoditi unggulan bagi daerah, sekaligus ikon bagi Bima.
Baca juga: Sejarah Kopi Arabica Sembalun, Tumbuh Sejak Zaman Kolonial

Diam-Diam Kopi Tambora Go Internasional
Kopi kini tidak hanya menjadi minuman bapak-bapak di pedesaan.
Kopi ini kini bermetamorfosis menjadi sebuah gaya hidup yang kekinian.
Bahkan di kalangan generasi Z (lahir 1996-2009), kopi menjadi gengsi pergaulan.
Alhasil, harga kopi pun kini cukup tinggi, jika dulu hanya dihargai Rp 2.000 per gelas.
Kini seiring menjamurnya kedai-kedai kopi sajian kopi semakin bervariasi sehingga memiliki nilai jual tinggi. Bisa mencapai Rp 80 ribu per gelas kecil.
Kopi Tambora yang dulunya hanya diminum oleh kalangan transmigran di Kecamatan Tambora, kini sudah melanglang buana ke luar negeri.
Andi, pengelola Kedai Uma Kahawa di Kota Bima mengungkap, sudah pernah mengirim kopi Tambora ke Jepang, Singapura dan Eropa.
"Prospek kopi ke depan itu gila," ungkap Andi, saat ditemui TribunLombok.com.
Meski sudah memenuhi cita rasa penikmat kopi di luar negari, Andi mengungkap, konsumen di luar sana tidak tahu jika yang diminum tersebut kopi Tambora.
"Mereka tidak tahu itu kopi Tambora. Tahunya, ya hanya kopi Robusta," ungkap Andi.
Kondisi ini sangat disayangkan oleh dirinya sebagai pegiat kopi di Bima.
Seharusnya, kata Andi, konsumen di luar Bima apalagi di luar negeri harus mengetahui jika kopi yang diminumnya berasal dari Tambora.
Lebih mirisnya lagi, kata Andi, puluhan ton kopi asal Tambora dibeli oleh warga NTT setiap bulannya, tanpa ada branding kopi Tambora.
"Tapi saya kurang tahu juga ya, apakah di NTT dibranding kopi asal sana atau tidak. Yang pasti, belinya dari sini dibawa ke NTT," ungkap Andi.
Baru-baru ini saja, Andi mendapatkan permintaan kopi dari Korea Selatan sebanyak 200 ton.
Akan tetapi permintaan tersebut belum bisa diterima, karena ia terkendala dengan modal.
"Petani itu maunya cash, tidak mau dicicil. Ketika ada yang minta banyak seperti ini, hanya bisa gigit jari karena tidak ada kemampuan," akunya.
Andi merasa yakin, kopi Tambora memiliki peluang besar meramaikan pangsa pasar kopi dunia.
Vegetasi di kaki gunung Tambora, membuat rasa kopi Tambora sangat kuat dan itu tidak dimiliki kopi-kopi di daerah lain.
"Rasa kopinya itu strong dan rasa seperti inilah yang dicari penikmat kopi," ujarnya.
Selain strong, kopi Tambora juga memiliki banyak rasa.
Rasa yang kuat ini, dipengaruhi pohon Jenetri yang membuat rasa kopi Tambora beda.
"Kulit Jenetri kalau busuk, manis dan ini pengaruhi rasa kopi Tambora," jelas Andi.
Selain itu, dalam kopi Tambora juga memiliki banyak varian rasa lain.
Seperti rasa pisang, nangka dan durian.
Andi juga mengungkap, sempat melayani seorang tamu dari Italia dan mencoba kopi Tambora.
"Tamu itu ngomong, kopi Tambora lebih strong dibanding kopi-kopi di Italia. Padahal Itali itu sangat terkenal dengan kopinya," beber Andi.
(*)