Akui Ada Dugaan Pemotongan BOP Pesantren, Kemenag Tidak Akan Tutup-Tutupi Kasus

Kementerian Agama memastikan tidak akan memberikan toleransi kepada oknum yang terbukti melakukan penyelewengan dana BOP Pesantren

kemenag.go.id
Tangkapan layar halaman utama Sistem Informasi Manajemen Bantuan Pendidikan Diniyah Dan Pondok Pesantren. 

"Kita tentu tidak menginginkan pesantren dan santri menjadi korban stigma negatif akibat ulah segelintir oknum yang melakukan penyelewengan. Pesantren dan kaum santri sejatinya adalah institusi dan komunitas yang punya jejak sejarah panjang dan merupakan modal besar bagi kemajuan bangsa dan masyarakat Indonesia di masa depan," tandasnya.

Temuan ICW Soal BOP Pesantren 2022

Dalam kajian ICW yang diterbitkan 18 April 2022, selama pandemi COVID-19, Kemenag mengeluarkan kebijakan program Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) untuk Ponpes.

Dengan bantuan tersebut, harapannya ponpes tetap dapat beroperasi sebagai penyelenggara layanan pendidikan agama Islam.

ICW dalam Laporan Hasil Pemantauan Program Bantuan Operasional Pendidikan untuk Pondok Pesantren Kementerian Agama Republik Indonesia di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten (Periode Pemantauan Maret – November 2021) menyebut, sengkarut tata kelola birokrasi yang buruk membuat distribusi bantuan rawan penyimpangan dan korupsi.

Hampir sama dengan berbagai masalah penyimpangan dan korupsi dalam bantuan berlabel bantuan sosial dan hibah, masalah serupa terjadi dalam penyaluran BOP Ponpes.

Dari pemantauan ICW, yang didukung oleh mitra lokal di Aceh, Sumatera Utara, Jawa Tengah Jawa Timur, dan Banten, berbagai bentuk penyimpangan dan indikasi korupsi BOP Ponpes telah terindektifikasi dengan jelas.

Salah satu faktor yang paling menonjol dan memicu masalah klasik korupsi adalah kacaunya pendataan ponpes yang dilakukan oleh Kemenag. Misalnya data pesantren yang tidak akurat (by name by address), klasifikasi pesantren penerima bantuan yang tidak cocok dengan profil di lapangan, pesantren dengan nama dan alamat ganda, dan pesantren fiktif, yakni pesantren yang terdata tapi faktanya mereka tidak beroperasi selayaknya pesantren, atau bahkan tidak ada sama sekali.

Baca juga: Berseteru dengan Nicholas Sean Putra Ahok, Ayu Thalia Nangis Saat Sidang: Masyarakat Nanti Juga Tahu

Pendataan yang ala kadarnya dan menjurus ke pengelolaan data yang buruk ikut memicu berbagai praktek penyimpangan dalam penyalurannya.

Sementara itu, sistem distribusi bantuan pemerintah selalu dibayang-bayangi oleh birokrasi informal. Birokrasi informal ini menempatkan diri sebagai middle-man alias broker, baik atas nama perwakilan partai politik tertentu, organisasi keagamaan tertentu, atau forum-forum masyarakat lainnya. 

(*)

 

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved