Asal Usul Penggunaan Istilah Halalbihalal di Indonesia

Hal ini menegaskan, tradisi silaturahmi pascaidulfitri atau halalbihalal sudah dimulai jauh sebelum tercetusnya istilah halalbihalal sendiri.

Penulis: Setyowati Indah Sugianto | Editor: Dion DB Putra
DOK. HUMAS PEMKAB LOMBOK TIMUR
Ilustrasi. Bupati Lombok Timur H M Sukiman Azmy menjadi [embina pada apel kerja yang berlangsung, Senin (9/5/2022) yang dirangkaikan dengan halalbihalal seluruh pegawai lingkup kabupaten Lombok Timur. 

Laporan Wartawan Tribunlombok.com, Setyowati Indah Sugianto

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Setelah merayakan Idulfitri, masyarakat Indonesia biasanya melakukan halalbihalal.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halalbihalal artinya hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Biasanya diadakan di sebuah tempat semisal auditorium, aula, dan sebagainya oleh sekelompok orang.

Baca juga: Halal Bihalal, Pimpinan Pusat Himmah NW Ajak Kader Perkuat Silaturahmi untuk Bangun Relasi

Baca juga: Kapolda NTB Hadiri Halal Bihalal di Ponpes Manhalul Marif Darek Lombok Tengah

Tujuan halalbihalal untuk menghormati sesama manusia sebagai bagian dari silaturahmi.

Dilansir Tribunnews yang mengutip laman Menpan RB, tokoh pers nasional dan mantan Ketua Umum PWI Mahbub Djunaidi, dalam buku berjudul Asal Usul, mengatakan acara halalbihalal itu bukan acara wajib, melainkan hanya tradisi. Akan tetapi manfaat bersilaturahmi itu amat besar.

Tradisi silaturahmi ini sudah dimulai sejak zaman KGPAA Mangkunegara I.

Saat itu, istilah yang dipakai adalah sungkeman.

Para prajurit dan masyarakat melakukan sungkem dengan keluarga Mangkunegara sekaligus bermaaf-maafan satu sama lain.

Hal ini menegaskan, tradisi silaturahmi pascaidulfitri atau halalbihalal sudah dimulai jauh sebelum tercetusnya istilah halalbihalal sendiri.

Pada tahun 1948, di pertengahan bulan Ramadan, Presiden Soekarno memanggil KH Wahab Chasbullah ke istana.

Ia dimintai pendapat dan saran untuk mengatasi situasi politik di Indonesia.

Saat itu, Indonesia sedang dilanda gejala disintegrasi bangsa karena elit politik saling bertengkar.

Sementara pemberontakan terjadi di beberapa wilayah, di antaranya DI/TII, PKI Madiun dan lainnya.

KH Wahab memberi saran pada Presiden Soekarno untuk menyelenggarakan silaturahmi.

Soekarno inginkan istilah barun selain silaturahmi.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved