Berita Bima
Mengenal Benhur, Alat Transportasi di Bima yang Semakin Langka
Benhur merupakan modal transportasi tradisional masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Keberadaanya kini semakin langka seiring kemajuan zaman.
Penulis: Atina | Editor: Sirtupillaili
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Atina
TRIBUNLOMBOK.COM, KOTA BIMA - Benhur merupakan modal transportasi tradisional masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Benhur merupakan kendaraan, yang dibuat dari kayu, dilengkapi dengan dua roda dan ditarik oleh seekor kuda.
Di daerah lain, terdapat kendaraan yang sama tapi dengan penyebutan yang berbeda, seperti cidomo.
Hanya saja, benhur lebih sederhana lagi dibandingkan cidomo.
Dulu, benhur digunakan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat Bima.
Mulai dari emak-emak yang ke pasar, siswa yang ke sekolah, hingga warga yang akan pergi bekerja.
Suara sepatu kuda, terdengar khas membelah jalan raya di Bima.
Baca juga: Jadi Magnet Wisata, Dispar Kota Bima Bakal Gelar Event di Gunung Pundu Nence
Baca juga: Gunung Pundu Nence, Wisata Pendakian Bersejarah di Kota Bima
Namun situasi itu tidak akan ditemukan saat sekarang.
Eksistensi benhur, kini sudah digantikan oleh kuda-kuda mesin seperti sepeda motor dan mobil.
Warga tidak lagi menggunakan benhur, karena dianggap tidak efektif lagi untuk mengejar waktu.
Masalah lain yang dihadapi, kotoran kuda yang merupakan mesin penggerak benhur, dianggap menjadi pemantik munculnya kekumuhan di kawasan perkotaan.

Sehingga, sedikit demi sedikit jangkauan trayek benhur dibatasi oleh pemerintah hingga kini jumlahnya nyaris tidak ada lagi.
Yemin, pemilik benhur yang ditemui TribunLombok.com mengaku kini hanya memiliki satu benhur saja.
Dulu, ia memiliki tiga benhur karena saat itu menjadi alat transportasi yang diandalkan warga.
"Sekarang tinggal satu, itu pun saya pertahankan karena hanya ini untuk saya mencari nafkah," ujarnya.
Menurut Yemin, warga lebih memilih menggunakan ojek atau sepeda motonya sendiri untuk bepergian.
"Kadang kalau lebaran, muatan lumayan banyak karena pemudik biasanya suka naik benhur," ujarnya.
Warga Kota Bima lainnya, Nuryati mengaku sudah jarang bisa menemui benhur lagi.
"Enak saja kalau pakai benhur, seperti ke pasar. Kalau belanjaan banyak, bisa muat. Tapi sudah jarang sekali," akunya.
Nuryati juga mengungkap, setiap lebaran biasanya keluarganya yang pulang dari perantauan akan mencari benhur untuk mengulang memori masa lalu di Bima.
"Anak-anaknya yang besar di kota besar, juga sering nangis minta naik benhur. Tapi ya itu, sekarang susah temukan benhurnya," tandasnya.
Sepertinya pemerintah daerah perlu menimbang kembali, untuk mengembalikan eksistensi benhur.
Pasalnya, ancaman global warming saat ini semakin nyata.
Transportasi tradisional akan menjadi solusi, karena tidak menghasilkan emisi karbon seperti pada kendaraan mesin.
(*)