Ini Alasan Jefri Nichol Ikut Demo hingga Kritik Omnibus Law UU Cipta Kerja, Singgung Kondisi Hutan
Jefri Nichol turut mengkritisi UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang sudah disahkan DPR RI beberapa hari lalu, bahkan hingga ikut turun ke jalan.
TRIBUNLOMBOK.COM - Jefri Nichol turut mengkritisi UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang sudah disahkan DPR RI beberapa hari lalu, bahkan hingga ikut turun ke jalan.
Sembari mengomentari sebuah link pemberitaan online tentang kondisi hutan Indonesia.
Jefri Nichol kritik pemerintah yang tak perhatikan kondisi hutan Indonesia.
Dalam artikel itu membahas kondisi 30 persen sisa hutan di Indonesia yang akan terancam karena disahkannya UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Jefri Nichol mengutarakan kritikannya dalam akun sosial media Twitter miliknya.
• Sempat Bikin Heboh, Najwa Shihab Jelaskan Isyarat Minta Tolong di Kertasnya: Saya Harap Semua Sehat
• Terekam Kamera 2 Sosok Misterius Lempari Batu Demonstran dari Atas Gedung DPRD, Sengaja Provokasi
"'Oke bapak ibu sekalian, karena kawasan hutan di pulau jawa sudah kurang dari 30%, kenapa tidak kita hilangkan saja semua hutannya sekalian?' Mungkin waktu dpr rapat, obrolannya gini kali ya?," tulis Jefri Nichol dalam cuitannya, dikutip Tribunnews.com, Sabtu (10/10/2020).
Dalam cuitan berikutnya, Jefri Nichol mengkritisi anggota DPR yang tak terlihat berinisiatif memperluas kawasan hutan Indonesia.
"Bukannya bikin inisiatif nambahin kawasan lingkungan hidup tapi malah begini...," ujar Nichol.
Sebelumnya Jefri Nichol juga terlihat berada di lokasi demo beberapa hari lalu.
Mengenakan kemeja putih, masker dan kacamata hitam ia berjalan sendirian di antara pendemo.
Belum diketahui apakah Jefri Nichol betul-betul turun untuk ikut aksi atau hanya sekedar kebetulan melewati kawasan tersebut.
Baca: Ikut Demo Tolak UU Cipta Kerja, Jefri Nichol Beri Pesan Ini ke Pedemo
Baca: Kritik UU Omnibus Law Cipta Kerja, Jefri Nichol Berkicau di Twitter, Soroti Kondisi Hutan Indonesia
Riuh bahasan soal paranormal masuk UU Ciptaker
Di media sosial kini beredar luas sebuah tangkapan layar yang disebut sebagai draft final Undang-undang Cipta Kerja.
Publik menyoroti soal adanya profesi paranormal hingga dukun yang masuk dalam kategori jasa pelayanan kesehatan.
Pembahasan tentang paranormal tersebut pada ayat 3 huruf (a)
Berikut bunyi dari potongan draf yang disebut-sebut versi final UU Cipta Kerja:
Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:
- jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi
- jasa dokter hewan;
- jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
- jasa kebidanan dan dukun bayi;
- jasa paramedis dan perawat;
- jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
- jasa psikolog dan psikiater; dan jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal
Meskipun belum ada penjelasan resmi dari pemerintah, sejumlah warganet mempertanyakan alasan kenapa tenaga medis yang menempuh pendidikan formal disamakan dengan paranormal.
Protes umumnya datang dari para tenaga medis.
"Gua yg udh susah susah belajar anfis, patofisiologi, diagnosa medis, dll mau nangis aja udh disamain bareng paranormal," tulis akun @Indomy*****
"Aku emang mungkin gangerti omnibus law yang masalah amdal, atau upah kerja dan yang lainnya, makanya belum berani speak up. tp kalau yang ini? tolong jelaskan maksudnya apa??? men???? paranormal masuk kesehatann medis????? tp apoteker dihilangin?? apoteker bkn tenaga medis?????" tulis @ata******
"Dokter2 ga pada mau demo juga nih? Pemerintah aja menyetujui adanya perobatan Alternatif dan paranormal di Omnibus Law.
Percuma si dokter2 yg menghujat pengobatan alternatif ini itu tp pekerjaan tersebut di akui oleh pemerintah," tulis @Widy****
"Yang buatnya kan orang orang di DPR. Coba ditanya ke mereka apa mereka kalau berobat masih pada ke paranormal.
saya yakin kalau berobat sih nggak, tapi kalau minta ajian jaran goyang masih kesana, wkwkw," tulis @septia*****

Protes juga banyak dilakukan oleh para apoteker.
Profesi apoteker, justru tidak dimasukkan dalam kategori jasa pelayanan kesehatan medis.
Para apoteker bingung, justru paranormal dan dukun yang masuk dalam kategori tersebut.
"Gak hanya di UU Cipta Kerja ini, sebelumnya di PMK No. 3 Th. 2020, pelayanan farmasi termasuk pelayanan non medik. Ditambah RUU Kefarmasian dicabut dr prolegnas prioritas 2020. Nice. Triple Kill!!!!!!," tulis @Art-***
Membandingkan tudingan hoaks dari presiden Jokowi dengan isi UU Ciptaker
Presiden Joko Widodo menyebut banyak disinformasi dan hoaks sehingga membuat masyarakat menolak keras Undang-Undang Cipta Kerja.
Kepala Negara pun memaparkan sejumlah hoaks yang dimaksudkan sekaligus memberikan bantahan.
Kompas.com kemudian membandingkan hoaks yang dipaparkan Presiden Jokowi tersebut dengan isi draf UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR dan pemerintah pada Senin (5/10/2020) lalu.
Upah minimum
Presiden Jokowi menegaskan, upah minimum di UU Cipta Kerja masih diberlakukan. Ia membantah ada penghapusan upah minimun provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Provinsi.
Apabila membandingkan isi UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada sejumlah aturan yang berubah terkait upah minimum.
Salah satunya adalah dihapusnya pasal 89 ayat 1 huruf (b) yang mengatur upah minimum sektoral. Penghapusan ini tercantum dalam Bab IV Ketenagakerjaan poin 26.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal menilai dihapusnya upah minimum sektoral ini merupakan bentuk ketidakadilan.
Sebab, sektor bisnis dengan penghasilan yang besar bagi negara akan memberi upah ke pekerja mengacu upah minimum regional.
"Sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lainnya, nilai upah minimumnya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk," kata Said Iqbal.
Ketentuan UMP dan UMK tidak hilang, namun mengalami perubahan.
Perubahan ini diatur dengan penambahan pasal 88 C.
Dengan penambahan pasal baru ini, maka UMK bukan lagi suatu kewajiban yang harus ditetapkan. Gubernur hanya wajib menetapkan UMP.
Penetapan UMK juga harus memenuhi syarat meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.
"Ini makin menegaskan kekhawatiran kami bahwa UMK ini hendak dihilangkan, karena tidak lagi menjadi kewajiban untuk ditetapkan," kata Said Iqbal.
Upah per jam
Presiden Jokowi juga membantah isu tenaga kerja akan dibayar berdasarkan per jam.
Ia menegaskan, skema itu masih menggunakan aturan lama.
Dalam draf UU Cipta Kerja memang tidak secara spesifik disebutkan soal upah per jam.
Namun ada penambahan pasal 88 B terhadap UU Ketenagakerjaan.
Pasal 88 B ayat (1) menyebutkan, upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan atau satuan hasil.
Lalu dalam pasal 88 B ayat (2) juga dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai upah satuan hasil dan waktu diatur dalam peraturan pemerintah.
Said Iqbal menilai, penambahan pasal 88 B itu bisa menjadi dasar pembayaran upah per jam.
"Di mana upah yang dihitung per jam ini pernah disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan, sebagaimana bisa kita telusuri kembali dari berbagai pemberitaan di media," kata dia.
Soal Cuti
Presiden Jokowi menegaskan, UU Cipta Kerja sama sekali tidak menghapus hak cuti karyawan di perusahaan.
Cuti semisal cuti hamil, cuti haid dan cuti reguler masih bisa didapat karyawan sesuai dengan UU Ketengakerjaan.
Dalam draf UU Cipta Kerja memang tidak diatur mengenai penghapusan berbagai jenis cuti seperti yang disebutkan Presiden Jokowi.
Namun ada perubahan aturan terkait cuti panjang.
Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan, ada aturan perusahaan tertentu memberikan hak cuti atau istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan saat karyawan bekerja pada tahun ketujuh dan kedelapan.
Dalam UU Cipta Kerja, ketentuan itu direvisi.
Hanya disebutkan bahwa perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
"Dalam Omnibus Law, pasal yang mengatur mengenai cuti panjang diubah, sehingga cuti panjang bukan lagi kewajiban pengusaha," kata Said Iqbal.
PHK
Presiden Jokowi juga membantah UU Cipta Kerja yang memungkinkan perusahaan untuk melakukan pemecatan sepihak
Apabila membandingkan UU Cipta Kerja dengan UU tentang Ketenagakerjaan, maka ada sejumlah aturan yang berubah terkait PHK.
Pasal 161 UU Ketenagakerjaan mengatur, pengusaha dapat melakukan PHK jika pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur di perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
PHK baru bisa diberlakukan setelah pekerja diberikan surat peringatan hingga tiga kali secara berturut-turut.
Pasal tersebut dihapus melalui UU Cipta Kerja.
Sebagai gantinya, dalam UU Cipta Kerja ditambahkan pasal 154A huruf j yang mengatur hal serupa.
Tapi ketentuan mengenai surat peringatan tiga kali berturut- turut tak lagi tercantum dalam ketentuan baru itu.
Lalu, pasal 155 UU Ketenagakerjaan juga dihapus melalui UU Cipta Kerja.
Pasal itu mengatur PHK yang dilakukan tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial batal demi hukum.
Pasal itu juga mengatur perusahaan bisa melakukan skorsing terhadap pekerja yang masih dalam proses PHK, namun tetap tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja
Kemudian, ada penambahan sejumlah pasal tambahan terkait PHK dalam UU Cipta Kerja yang sebelumnya tak ada di UU Ketenagakerjaan.
Salah satunya penambahan Pasal 154 A ayat 1 huruf (b) yang mengatur, perusahaan dapat melakukan PHK atas alasan efesiensi. "Dengan pasal ini, bisa saja perusahaan itu melakukan PHK dengan alasan efisiensi meskipun sedang untung besar," kata Said Iqbal.
Amdal
Presiden Jokowi membantah bahwa UU Cipta Kerja menghilangkan kewajiban perusahaan untuk mengantongi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan.
Kata dia, Amdal tetap harus dipenuhi oleh industri besar.
Sementara untuk UMKM, lebih ditekankan pada pendampingan dan pengawasan.
Faktanya, draf UU Cipta Kerja mengubah sejumlah ketentuan terkait Amdal dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Dalam pasal 26 UU PPLH, penyusunan dokumen Amdal mesti melibatkan masyarakat dan pemerhati lingkungan hidup.
Namun, ketentuan itu diubah sehingga penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung.
Dengan begitu, pemerhati lingkungan hidup tidak lagi dilibatkan.
Dalam Pasal 26 UU PPLH, juga ada ketentuan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal.
Tapi dalam Omnibus Law, ayat yang mengatur ini hilang.
Kemudian, Pasal 29-31 UU PPLH yang mengatur soal Komisi Penilai Amdal yang juga mencakup pakar dan wakil masyarakat serta organisasi lingkungan hidup, dihapus.
Tugas komisi itu digantikan oleh tim uji kelayakan yang dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat.
Hanya ada tiga unsur yang terlibat yaitu pemerintah pusat, daerah dan ahli bersertifikat.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Aktor Jefri Nichol Turut Kritik UU Omnibus Law, Takutkan Kerusakan Lingkungan Makin Parah