TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Anggota Komisi V DPRD NTB Indra Jaya Usman menyoroti membengkaknya belanja lewat tahun pada sejumlah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), khususnya RSUD NTB.
Terdapat kelebihan belanja 2024 yang rencana akan ditutup dengan alokasi dalam APBD 2025 sekitar Rp 193 Miliar.
"Hutang ini ditengarai kelebihan belanja, sebab tidak ada dalam Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) tahun 2024," ungkapnya, kepada media, Rabu (12/2/2025).
Ketua Fraksi Partai Demokrat yang akrab disapa IJU ini meminta, agar soal belanja lewat tahun RSUD NTB yang menjadi utang ini dilakukan pemeriksaan khusus inspektorat maupun dengan melibatkan BPKP.
Jangan hanya audit yang dilakukan untuk melegalkan sebagai hutang agar bisa dibayar dalam APBD. "Ini seperti hal yang berulang," tegasnya
Dikhawatirkan IJU, pembengkakan ini merupakan praktik fraud (tipuan) pengelolaan, sebab sebagian besar dari utang ini merupakan obat-obatan dan barang medis habis pakai.
"Jenis barang ini kan kayak jin, karena sifatnya habis pakai. Mengauditnya saja sudah susah karena barangnya sudah tidak ada," tandasnya.
Seharusnya, kata IJU, belanja seperti ini bisa direncanakan agar terkendali, sehingga tidak terus menerus menjadi utang. Sebab, tahun sebelumnya juga terjadi hal demikian. Bahkan jumlahnya terus membengkak dari hanya Rp 38 miliar tahun 2023.
"Jangan-jangan ini seperti praktik PDAM yang setiap kelebihan neracanya ditutup dengan alasan pipa bocor tak terdeteksi," bebernya.
IJU juga menyoroti dua BLUD lain yakni RS Mandalika dan RSUD HL Manambai Abdul Kadir yang juga masih menyisakan hutang yang harus ditutup melalui APBD 2025, jumlahnya mencapai Rp 24,7 miliar yang terdiri dari Rp 20,6 miliar di RSUD HL Manambai Abdul Kadir dan RS Mandalika Rp 4,1 Miliar.
"Progres pekerjaan di RS Mandalika memprihatinkan, karena baru mencapai 55,8 persen fisiknya," bebernya.
Sementara itu, terkait soal BLUD ini Anggota Komisi III DPRD NTB, M Nashib Ikroman menyorot dari sisi pendapatan BLUD yang tidak mencapai target, dicontohkan untuk RSUD NTB tahun 2024 yang realisasi pendapatanya hanya mencapai 85,96 persen dari target, atau sebesar Rp560,99 miliar dari target Rp652,6 miliar.
"Jika benar ada utang akibat kelebihan belanja Rp193 miliar, nombok dari APBD besar sekali, ini tidak sehat dan akan sangat menganggu program-program yang lain. Apalagi sekarang ada efesiensi sesuai inpres presiden," jelas pria yang akrab disapa Acip ini.
Dari hasil RDP dengan BPKAD, kata Acip, jumlah belanja lewat tahun yang menjadi utang mencapai Rp265 miliar dan sebagian besar diantaranya merupakan hutang BLUD. Di dalamnya juga realisasi fisik DAK masih jauh dari target.
"Lebih dari Rp400 miliar yang harus ditutup di APBD 2025. Belum lagi ditambah efesiensi dari dana transfer Rp147 miliar," ungkapnya.
Ditambahkan, dalam APBD NTB 2025 juga ada kewajiban cicilan utang sekitar Rp80 miliar yang juga harus dibayarkan. Sehingga jika bicara RSUD NTB, jumlah APBD yang akan tersedot lebih dari Rp 800 miliar.
"Saya sudah usulkan di komisi III untuk melakukan rapat gabungan komisi khusus terkait BLUD ini. Mudahan bisa segera dilaksanakan," pungkasnya.
Klarifikasi Direktur RSUD NTB
Sementara itu, Direktur RSUD Provinsi NTB dr H Lalu Herman Mahaputra yang dikonfirmasi Tribun Lombok menjelaskan, dia sebenarnya tidak ingin menanggapi isu tersebut, sebab sudah dijelaskan saat rapat dengan komisi-komisi di DPRD NTB.
Menurutnya, tidak ada kelebihan belanja atau utang seperti disebutkan dewan. Ini hanya persoalan sudut pandang dan pemahaman terkait persoalan belanja dan pelayanan di RSUD NTB.
"Tidak ada masalah itu, hanya masalah pemahaman saja, dan mungkin BPJS masih ada utang di kita dan belum dibayar," kata pria yang akrab Dokter Jack ini.
"Tidak ada kelebihan belanja, bagaimana mau kelebihan belanja?" tegasnya.
Ia menjelaskan, yang terjadi selama ini, RSUD Provinsi NTB sudah memberikan pelayanan kepada pasien pemegang kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tetapi tidak semua klaim medis langsung dibayar BPJS Kesehatan. Sementara biaya pembelian obat dan alat kesehatan sudah terpakai untuk melayani masyarakat.
Biaya-biaya yang belum dibayar oleh BPJS itu tidak bisa dimasukkan langsung ke delam pemasukan BLUD.
"Ditunda (pembayaran klaim) otomatis yang saya catat itu adalah mana yang kira-kira uang riil-nya (uang masuk), kalau belum dibayar nanti akan dicatat setelah dibayar," jelasnya.
Sehingga menurut Dokter Jack, hal itu tidak ada masalah dan mereka juga sudah diperiksa BPK dan Inspektorat.
"Sudah kita diperiksa, tidak ada masalah, itu terhitung sebagai piutang di BPJS," katanya.
"Jadi kalau kita melayani BPJS, tidak semua apa yang kita layani itu di-acc pembayaranya oleh BPJS, sedangkan kita itu sudah uang keluar untuk belanja untuk obat," jelasnya.
Lebih lanjut, Dokter Jack menjelaskan, pada saat seorang pasien BPJS butuh penanganan di IGD maka wajib dilayani, pihak rumah sakit tidak mempersulit dengan mengurus administrasi. Sehingga biaya pengobatan dalam kasus itu sudah dibelanjakan.
"Setelah kita melayani, baru kita klaim ke BPJS, ada yang dibayar ada yang tidak, tetapi kita sudah mengeluarkan modal," jelasnya.
"Orang sakit pasti kita layani, nah belum tentu yang kita layani itu BPJS mau bayar, kalau tidak dibayar tidak mungkin protes ke BPJS, mana yang dibayar BPJS itulah yang kita catat sebagai pendapatan kita, yang tidak dibayar ya sudah memang kita (wajib) melayani masyarakat," tegasnya.
Menurutnya, hal itu yang mungkin disebut dewan sebagai kelebihan bayar. "Makanya ini hanya soal pemahaman dan sudut pandang saja," katanya.
Biaya-biaya yang belum dibayar BPJS tersebut kemudian menjadi piutang dan pasti akan dibayar pada periode selanjutnya. "Karana BPJS sendiri defisit, bukan hanya rumah sakit provinsi, semua rumah sakit diutangi sama BPJS," ujarnya.
Menurut Dokter Jack, pola tersebut dilakukan agar pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan sebagaimana mestinya. Jika tidak, maka akan banyak sekali pasien tidak bisa terlayani. Dia tidak ingin hal itu terjadi.
"Rumah sakit itu wajib dan pasti melayani, masalah masyarakat punya uang atau tidak itu belakangan. Biar rugi rumah sakit yang penting rumah sakit itu sembuh. Orang yang tidak punya apa-apa, orang yang miskin, jangan kita bebani lagi," tegasnya.
Menurutnya, hal ini harusnya dipahami juga oleh anggota DPRD NTB. Tapi kalau ada perbedaan pandangan baginya tidak masalah.
"Melayani orang sakit itu kan butuh biaya untuk beli obat, bayar perawat, bayar dokter, kemudian bayar bahan habis pakai, semua itu dibeli, tidak ada yang didapatkan secara gratis," katanya.