Opini

Perlindungan Hukum terhadap Pelaku dan Eksekutor Aborsi Legal, Apakah Sudah Optimal?

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Indrawati, S.Ked.

Oleh: Indrawati, S.Ked.

Tindak pidana aborsi ilegal sedang marak ditemukan belakangan ini. Polisi sekali lagi menemukan praktik aborsi di klinik ilegal di daerah Jakarta Timur.

Tersangka utama, inisial S, berperan sebagai seorang dokter gadungan yang melakukan tindakan aborsi tanpa keahlian di bidang medis sedikit pun.

Pasien yang datang ke praktik ilegal tersebut mayoritas merupakan perempuan yang tidak menghendaki kehamilannya, entah karena belum siap memiliki anak hingga hasil pemerkosaan.

Pada dasarnya, tindak aborsi merupakan fenomena terselubung dikarenakan praktiknya yang sering tidak tampil ke permukaan, bahkan cenderung ditutupi oleh pelaku, eksekutor dan masyarakat sekitar.

Ketertutupan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk hukum formal, nilai politik, sosial, budaya, hingga agama yang hidup di masyarakat Indonesia. Sebenarnya, aborsi kehamilan yang disebabkan oleh tindak pidana perkosaan diatur dalam pasal 75 Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan butir ke-2 dan ke-3 yang menyebutkan bahwa para ahli kesehatan dan ahli hukum dapat memahami alasan aborsi pada korban pemerkosaan dengan beberapa persyaratan tertentu.

Dalam memandang kedudukan hukum mengenai aborsi di Indonesia, tujuan utama aborsi sangat perlu ditinjau secara teliti.

Sejauh ini, persoalan aborsi secara umum dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada kasus tertentu dilegalkan.

Lantas, apa saja yang dijadikan pertimbangan oleh para ahli dalam melegalkan tindak aborsi akibat pemerkosaan?

Menurut pasal 76 Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, disebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum 6 minggu masa kehamilan yang dihitung sejak hari ke satu haid terakhir, dilakukan oleh tenaga medis yang memiliki sertifikat kewenangan yang ditetapkan oleh menteri dan tindakan aborsi telah dikehendaki oleh perempuan tersebut.

Namun, pada beberapa kasus, tidak jarang perempuan yang melakukan aborsi setelah mengalami pemerkosaan dijebloskan kedalam penjara.

Padahal, menurut undang-undang yang berlaku, korban berhak memutuskan untuk mempertahankan atau menggugurkan kandungannya setelah melakukan konseling pra dan pasca tindakan.

Ketentuan yang memperbolehkan tindak aborsi pada usia kehamilan kurang dari 40 hari yang tertera pada Pasal 31 ayat (2) PP nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi, juga sedikit memberatkan korban.

Padahal secara umum, perempuan baru menyadari kehamilannya pada usia kehamilan lebih dari 6 minggu atau sekitar 42 hari setelah pembuahan terjadi.

Dengan begitu, maka batas waktu untuk melakukan aborsi sesuai ketentuan pada Pasal 31 ayat (2) tidak dapat terpenuhi sebelum korban mengetahui bahwa dirinya hamil.

Belum lagi proses pelaporan dan pemeriksaan tindak pidana pemerkosaan yang memakan banyak waktu, sehingga waktu yang dimiliki korban untuk melakukan aborsi bersyarat menjadi semakin sempit.

Hal ini lah yang memungkinkan meningkatnya angka aborsi tidak aman, karena adanya hukum yang masih terkesan abu-abu dimata korban maupun para dokter.

Sebagian besar korban masih merasa takut atas larangan aborsi yang telah beredar luas di masyarakat tanpa mengetahui persyaratan khusus tindak aborsi, terutama bagi korban pemerkosaan, sehingga memilih untuk melakukan aborsi di klinik-klinik ilegal.

Tidak banyak pula, korban pemerkosaan yang memilih untuk aborsi dibawa ke meja hijau dan dijatuhi hukuman.

Padahal seharusnya, bagaimanapun kondisi dengan akibat apapun, setiap perempuan Indonesia tetap memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan berhak menentukan kehidupan reproduksinya secara bebas dengan perlindungan hukum.

Begitu pula dengan para dokter, sebagai eksekutor aborsi bersyarat. Tidak sedikit kasus dokter yang diseret ke meja hijau karena melakukan aborsi bersyarat pada korban pemerkosaan.

Hukum tentang aborsi bersyarat yang masih abu-abu menyebabkan dokter tidak berani menyetujui permintaan korban untuk menggugurkan kehamilannya bahkan setelah memenuhi syarat.

Padahal, pada Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009, salah satu pengecualian tindak pidana aborsi adalah kehamilan akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korbannya.

Tekanan psikologis yang dialami korban, tentunya merupakan indikasi medis untuk melakukan aborsi, asalkan tetap memenuhi persyaratan lain yang telah dijelaskan pada UU nomor 36 tahun 2009, sebagai dasar hukum yang melindungi korban pemerkosaan untuk menggugurkan kandungannya. Undang-undang tersebut juga harusnya mendasari wewenang dokter yang berkompeten untuk melakukan pengguguran kandungan.

Maka dari itu, optimalisasi penerapan perlindungan hukum terhadap dokter sebagai eksekutor aborsi bersyarat serta korban pemerkosaan yang memutuskan untuk melakukan aborsi bersyarat harus digencarkan. Selain itu, edukasi terhadap masyarakat pun juga harus ditekankan supaya tidak menambah trauma psikologis terhadap para korban.

Pihak-pihak berwenang juga diharapkan untuk meninjau dan memperhatikan kembali perlindungan-perlindungan hukum yang telah dijanjikan dan seharusnya didapatkan oleh seluruh masyarakat sebagai hak mereka.

Indrawati, S.Ked. adalah dokter muda mahasiswa magister Universitas Hang Tuah Surabaya.

Berita Terkini