Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sinto
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TENGAH - Maleman merupakan salah satu tradisi masyarakat Sasak di Desa Sade, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah yang sudah dilakukan secara turun-temurun.
Acara meleman ini dilakukan pada malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan Ramadan.
Antara lain pada malam 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadan.
Baca juga: H-1 Lebaran, Kendaraan Pemudik Tujuan Pulau Sumbawa Masih Padati Pelabuhan Kayangan
Seorang warga yang menjalankan tradisi ini, Inaq Almi menyebutkan tradisi maleman ini untuk menyambut Lailatul Qadar.
Maknanya, menyambut malam yang lebih baik daripada seribu bulan ini dengan cahaya dalam suasana penuh suka cita.
Terkandung harapan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.
"Malam ini tanggal 29 sehingga memungkinkan untuk turunnya malam lailatul qadar itu pada malam ganjil," jelasnya kepada TribunLombok.com, Sabtu (30/4/2022)
Berdasarkan pantauan TribunLombok.com, warga memasang lampu penerang khusus di area rumah mereka.
lampu tersebut terbuat dari bahan pohon randu dicampur dengan minyak pohon jarak atau pohon jamplong yang dibakar usai salat magrib.
Lampu yang bersumber dari aliran listrik harus dimatikan sehingga hanya lampu maleman di sudut-sudut rumah yang menyala.
"Obor kecil yang terbuat dari bahan buah jamplung/jarak yang ditumbuk hingga keluar minyaknya kemudian dicampurkan kapas dan digulungkan pada batang bambu yang berukuran antara 10-15 sentimeter dan dibakar," tambah Inaq Almi.
Tokoh Adat Pendung-Endung Sade Amaq Riun menerangkan riwayat dinyalakannya lampu maleman tersebut.
Zaman dahulu, kata dia, awal mulai adanya obor yang dinyalakan adalah karena tidak ada penerang lampu listrik seperti saat ini.
Sementara umat Islam harus menjalankan kewajiban untuk membayar zakat fitrah.
"Sebagai penerang jalan saat membayar zakat fitrah. Maklum saja listrik masuk pedesaan juga sekitar tahun 1990-an," terangnya.
(*)