Peringati Hari Kebebasan Pers Sedunia, AJI Mataram Gelar Pertunjukan Wayang Sasak Virtual

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

WAYANG BOTOL: Dalam tangkapan layar, salah satu adegan dimana wayang botol yang terbuat dari botol plastik menyaksikan aksi unjuk rasa para jurnalis mengecam kekerasan terhadap pers, Minggu (2/5/2021).

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sirtupillaili

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Memperingati hari kebebasan pers sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD) tahun 2021, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram menggelar pentas seni wayang Sasak secara virtual, Minggu (2/5/2021).

Melalui karya seni, AJI Mataram berkolaborasi dengan Sekolah Pedalangan Wayang Sasak memberi gambaran kondisi kebebasan pers di Indonesia saat ini.

Kisah berjudul “Pewarah Gumi Paer (Pembawa Kabar di Tanah Air)” karya Pikong, jurnalis KompasTV ini menceritakan kekerasan yang kerap dialami jurnalis saat melakukan tugas di lapangan.

”Lakon sederhana ini menggambarkan bagaimana para pewarah atau pewarta bekerja keras menyampaikan kebenaran kepada publik meski kadangkala bertaruh nyawa,” kata Pikong, sebelum pemutaran wayang Sasak dimulai, Minggu (2/5/2021).

Baca juga: Kekompakan TNI-Polri dan Pemkot Mataram jadi Kunci Penanggulangan Covid-19

Dalam cerita ‘Pewarah Gumi Paer’ dia memberikan sindiran dan kritik terhadap kondisi Indonesia.

Tonton Juga :

Para tokoh dalam pewayangan itu hidup di negeri  bernama Sia-sia.

Kehidupan warga di Negeri Sia-sia suram dan sia-sia.

Baca juga: Percepat Vaksin Lansia, Polresta Mataram Kerahkan 40 Personel Batalyon Vaksinator

Zaman ketika para penguasa korup dan pengusaha rakus bersekongkol  menguasai dunia.

Mereka membuat aturan-aturan yang mengacaukan tatatan hidup. Mereka menghisap segala sumber daya, termasuk daya hidup rakyatnya.

Para penguasa dalam kisah itu hanya memikirkan nikmat dunia semata, tidak peduli dengan nasib rakyat kecil.

Suara-suara penyadaran akan dibungkam, termasuk para jurnalis yang ingin mewartakan kebenaran.

Sekretaris AJI Mataram Muhammad Kasim mengatakan, WPFD yang diperingati setiap 3 Mei 2021 menjadi momentum untuk merefleksikan kondisi kebebasan pers saat ini.

”Peringatan WPFD di NTB masih menyisakan catatan buruk  bagi pewarah atau jurnalis di NTB,” kata Kasim.

Kasus kekerasan pers Indonesia masih terus terjadi. Bahkan baru-baru ini, seorang jurnalis dipukul oknum anggota Satpol PP Lombok Timur saat akan liputan di kantor Bupati Lombok Timur.

”Contoh nyata kekerasan pers dialami salah satu Jurnalis insidelombok di Lombok Timur. Dia dicekik dan dipukul saat meliput. Ini tidak bisa dianggap sepele," kata M Kasim.

Ia juga menyinggung kekerasan yang dialami Nurhadi, jurnalis Tempo di Surabaya.

Hingga saat ini polisi belum menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.

Itu membuktikan ketidakseriusan aparat dalam menangani setiap kasus kekerasan yang dialami jurnalis.

Aparat harusnya memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan pers. Bukan sebaliknya, menjadi pelaku kekerasan.

”Untuk menjaga kebebasan pers, semua harus punya pemahaman yang sama tentang kemerdekaan pers. Baik pejabat publik aparat dan masyarakat,” tandasnya.

Melalui karya seni pewayangan ini, dia berharap pesan untuk menjaga kebebasan pers tersampaikan ke tengah masyarakat.

(*)

Berita Terkini