Opini
Membaca Ulang Wajah Budaya NTB dari Rumah Sendiri
Membangun balai kebudayaan bukanlah semata-mata soal gedung atau struktur birokrasi
Oleh: Harianto
Peneliti budaya di Lombok Research Center (LRC)
Di balik gemuruh globalisasi yang menyesakkan, di antara denyut seragam kebudayaan pop yang menelan warna lokal, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) akhirnya mengambil langkah historis yang layak dicatat dengan tinta tebal: akan berdirinya Balai Pelestarian Kebudayaan NTB.
Sebuah institusi yang bukan sekadar struktur birokrasi, melainkan rumah baru bagi ruh-ruh budaya lokal yang tumbuh di kantung-kantung pelosok dusun, yang selama ini menggigil dalam bayang-bayang dominasi Bali.
Selama puluhan tahun, kekayaan budaya NTB seperti tari Gandrung, tenun songket Sukarara, mantra-mantra Suku Sasak, hingga ritual Maulid Adat dibaca dengan kaca mata luar.
Dianggap sebagai pelengkap eksotisme. Dilebur dalam narasi besar yang sering kali tak menyisakan ruang tafsir atas jati diri lokal. Kini, untuk pertama kalinya, narasi itu berpeluang ditulis dari dalam, oleh tangan-tangan yang mengenal nadi sendiri.
Langkah ini diumumkan Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, dalam suasana yang simbolis: pelantikan Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) se-NTB di Ballroom Islamic Center pada hari Rabu, 2 Juli 2025 yang lalu.
Momentum ini bukan sekadar seremoni, tapi deklarasi ideologis bahwa NTB siap membangun karakter budaya sendiri, tanpa harus bertumpu pada tafsir luar.
Jalan Panjang Menuju Pengakuan
Menjadi provinsi yang memiliki Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) sendiri bukanlah pencapaian yang datang sekejap.
NTB telah lama menyimpan hasrat untuk berdiri di atas kakinya sendiri secara kultural. Seperti anak yang dewasa dan meminta ruang untuk menafsirkan dunia dari matanya sendiri.
Selama ini, pengelolaan budaya di NTB dilakukan dalam skema administratif yang digabungkan dengan Bali. Tidak heran jika banyak program pelestarian, dokumentasi, dan riset budaya NTB dikemas dengan pendekatan yang tidak kontekstual.
Budaya NTB kerap diseragamkan, dilebur dalam kategori “Lesser Sunda”, dan diabaikan keragaman tafsirnya. Dengan berdirinya BPK NTB, kita bisa mulai bicara soal roadmap kebudayaan yang lebih adil.
Pemetaan aset budaya, penetapan warisan takbenda, revitalisasi situs sejarah, dan pembinaan komunitas seni akan lebih terarah. Tidak lagi sekadar menjadi proyek jangka pendek berbasis proposal, tapi sebagai bagian dari rencana besar pembangunan karakter bangsa.
Membangun dari Akar
Namun membangun balai kebudayaan bukanlah semata-mata soal gedung atau struktur birokrasi. Ia harus dimulai dari kehendak untuk mendengar akar, untuk kembali pada komunitas yang memelihara nilai-nilai leluhur.
| Kecimol dan Kesasakan Kita: Menemukan Cermin Akhlak dan Budaya |
|
|---|
| Pernikahan Dini: Penyebab Perceraian dan Upaya Mengatasinya dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam |
|
|---|
| 59 Tahun UIN Mataram: Paradoks Unggul dengan Realitas Jalan Gajah Mada |
|
|---|
| Jalan Panjang Menjaga Irama Desa Berdaya NTB |
|
|---|
| Membedah Dana BTT Pada APBD NTB 2025 |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/lombok/foto/bank/originals/Harianto_LRC_0251290.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.