Pemilu 2024

Jual Beli Suara Terjadi Saat Kotak Suara Dikirim ke Kecamatan, Pemilu Sekarang Sama Curangnya

Menurut Mahfud MD, di persidangan terungkap kerap terjadi kecurangan hasil Pemilu pada tingkat desa. Utamanya ketika kotak dan surat suara dikirim.

Editor: Dion DB Putra
Warta Kota/YULIANTO
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. 

TRIBUNLOMBOK.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD cerita pengalamannya saat menjabat ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan menangani sengketa hasil Pemilu.

Menurut Mahfud MD, di persidangan terungkap kerap terjadi kecurangan hasil Pemilu pada tingkat desa. Utamanya ketika kotak dan surat suara dikirim dari TPS ke kecamatan maupun kabupaten.

Baca juga: Sengaja Bocorkan Putusan MK Soal Sistem Pemilu Tertutup, Denny Indrayana: Biar Viral

Dalam proses pengiriman kotak dan surat suara dari TPS itu, kata Mahfud, terjadi praktik tukar menukar dan jual beli suara di lapangan.

"Di tingkat desa, rawannya itu nanti ketika pengiriman dari TPS masuk ke kecamatan, kabupaten. Biasanya berdasarkan pengalaman saya sebagai hakim MK, memang kadangkala terjadi tukar menukar dan jual beli suara dalam proses ini," kata Mahfud dalam rapat jaga stabilitas politik Pemilu 2024 yang disiarkan langsung Youtube Kompas TV, Senin (29/5/2023).

Oleh sebab itu, ia menyebut, selalu ada perkara sengketa hasil Pemilu yang berasal dari daerah dimohonkan ke MK.

Berkenaan dengan hal ini, Mahfud menyatakan bahwa Pemilu era sekarang sama seperti yang terjadi di era Orde Baru. Yakni sama-sama diwarnai kecurangan.

Bedanya, lanjut Mahfud, kecurangan Pemilu di era Orde Baru bersifat vertikal yakni dari pemerintah.

Sedangkan kecurangan Pemilu era sekarang bersifat horizontal yakni antar-partai politik seperti perebutan suara hingga jual beli suara.

"Sehingga saya katakan, Pemilu di era sekarang ini sama dengan era Orde Baru. Sama-sama diwarnai kecurangan, terbuka aja kita," katanya.

"Kita kalau di pusat nggak, sudah jujur dan diatur semua. Tapi di bawah itu selalu ada. Oleh sebab itu perkara selalu masuk ke MK setiap Pemilu," ucap Mahfud.

Bedanya lanjut Mahfud, kecurangan Pemilu di era Orde Baru bersifat vertikal yakni bersumber dari pemerintah melalui Mendagri yang bisa menentukan pemenang Pemilu, pejabat di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.

"Cuma bedanya, di masa Orde Baru kecurangannya bersifat vertikal. Yang melakukan pemerintah, lembaga Pemilu itu Mendagri, ABG dulu namanya yang menentukan pemenang Pemilu. ABG (itu) ABRI, Birokrasi, Golkar. Dulu kecurangannya diatur dari situ. Tapi sesudah reformasi, dibuat lembaga Pemilu sendiri namanya KPU yang menurut konstitusi bukan bagian dari pemerintah," jelas Mahfud.

KPU pun dilahirkan sebagai lembaga yang punya tugas menyelenggarakan Pemilu, serta berdasarkan konstitusi bukan bagian dari pemerintah. Tujuan pembentukan KPU, kata Mahfud, diharapkan kecurangan vertikal seperti yang terjadi pada masa Orde Baru tak lagi terjadi.

Namun era orde saat ini, menurutnya, Pemilu tetap curang. Hanya saja dijelaskan eks Ketua MK periode 2008-2013 ini, bentuk kecurangannya bersifat horizontal yakni antar-partai politik, seperti pengambilan suara partai lain, hingga jual beli suara antar partai politik.

"Sekarang ini kok masih ada curang, iya masih ada curang, yakin? Yakin. Karena saya hakim MK mengadili Pemilu ini tahu kecurangan di mana-mana," ungkapnya.

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved