Piala Dunia 2022
Profil Saprudin Bastoni, Petani Indonesia yang Rawat Taman dan Stadion Piala Dunia 2022
Saprudin Bastoni merupakan petani asal Indonesia yang membangun dan merawat stadion dan taman untuk Piala Dunia 2022 di Qatar.
TRIBUNLOMBOK.COM, DOHA - Piala Dunia 2022 di Qatar tinggal sehari lagi. Kejuaraan sepak bola empat tahunan tersebut mulai bergulir pada Minggu 20 November 2022.
Laga perdana di Grup A mempertemukan tuan rumah Qatar melawan Ekuador. Pertandingan berlangsung pada Minggu (20/11/2022) mulai pukul 23.00 WIB.
Di tengah euforia Piala Dunia 2022, jurnalis Tribunnews Eko Priyono menemui Saprudin Bastoni di Qatar.
Baca juga: Daftar Harga Tiket Piala Dunia 2022, Segini Tiket Paling Murah hingga Paling Mahal
Saprudin Bastoni merupakan petani asal Indonesia yang membangun dan merawat stadion dan taman untuk Piala Dunia 2022 di Qatar.
“Semoga ke depannya anak-anak petani Indonesia tidak perlu minder dan ragu untuk berkiprah di dunia pertanian baik di dalam negeri maupun di mancanegara dengan mengikuti standar operasional dan manajemen internasional tertinggi di dunia seperti perawatan dan pembangunan stadion lapangan sepak bola untuk Piala Dunia FIFA 2022," demikian Saprudin Bastomi.
Berikut ini profil Saprudin Bastomi yang dibesarkan di Indramayu, kira-kira 4 jam perjalanan dengan bus dari Jakarta. Dia dibesarkan dalam keluarga petani.
Mengenai kiprahnya hingga bekerha di Qatar, TribunLombok.com turunkan penuturan langsung dari Saprudin Bastomi di bawah ini.
Pada waktu duduk di sekolah dasar, saya sering membantu orang tua memanen padi, memanen jeruk atau mencari rumput untuk pakan kambing.
Saya menghabiskan waktu SMP dan SMA di Indramayu dan kemudian kuliah di Yogyakarta tepatnya di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada Jurusan Ilmu Tanah," katanya.
Kenapa saya mengambil jurusan Ilmu Tanah, itu ada sejarahnya tersendiri.
Ceritanya dulu pada waktu SD sekitar tahun 1988-an di desa saya Segeran, yang terkenal penghasil jeruk telah mengalami kerugian karena jeruk di daerah tersebut banyak yang mati.
Para petani beranggapan bahwa jeruk mati disebabkan oleh aktivitas Pertamina yang pada waktu itu mencari (eksplorasi) sumber minyak bumi di sekitar desa saya, yang dianggap telah mencemari atau merusak tanah sehingga tidak subur lagi dan menyebabkan jeruk mati.
Dengan dilatarbelakangi oleh hal tersebut saya tertarik untuk mencari jawabannya dengan kuliah di fakultas pertanian dan mengambil jurusan ilmu tanah.
Tetapi setelah mendalami ilmu tanah di fakultas pertanian tersebut ternyata penyebab jeruk mati pada waktu itu ditengarai oleh serangan bakteri pada jeruk yang biasa disebut penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) bukan oleh kegiatan eksplorasi Pertamina.
Setelah selesai kuliah pada tahun 2001 saya bekerja di pabrik jamur champignon (Agaricus bisporus) sebagai Kaur Quality Assurance dan R&D yang berlokasi di Paguyangan, Bumiayu daerah Brebes selatan di kaki gunung Selamet.
Pada waktu itu rata-rata produksi mencapai 25 ton per hari. Sebagian besar jamur tersebut diekspor dalam kemasan kaleng dan untuk produk jamur fresh sebagian diekspor ke Singapura lewat udara selain tentunya dijual lokal ke Jakarta dan Denpasar. Saya bekerja di pabrik jamur tersebut selama 8 tahunan.