Pesawat Jatuh

KNKT Ungkap Faktor Penyebab Sriwijaya Air SJ182 Jatuh di Kepulauan Seribu 9 Januari 2021

Nurcahyo menyebut faktor mekanis seperti thrust asymmetry dan faktor manusia seperti complacency atau kepercayaan pada otomatisasi.

Editor: Dion DB Putra
SHUTTERSTOCK/LEONY EKA PRAKASA via KOMPAS.COM
Pesawat Boeing 737-500 registrasi PK-CLC milik Sriwijaya Air di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Juni 2019. Pesawat ini yang jatuh dalam penerbangan SJ182 pada 9 Januari 2021, di perairan Kepulauan Seribu. 

TRIBUNLOMBOK.COM, JAKARTA - Setelah melakukan investigasi menyeluruh dan mendalam, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ182.

Pesawat rute Jakarta-Pontianak itu jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada tanggal 9 Januari 2021. Semua penumpang dan kru pesawat meninggal dunia dalam musibah tersebut.

Baca juga: KALEIDOSKOP 2021 Musibah Besar: Sriwijaya Air Jatuh, KRI Naggala Tenggelam ,dan Gunung Semeru Erupsi

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI pada Kamis (3/11/2022), Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo mengungkap faktor penyebab kecelakaan Sriwijaya Air SJ182.

Nurcahyo Utomo menyebut faktor mekanis seperti thrust asymmetry dan faktor manusia seperti complacency atau kepercayaan pada otomatisasi, dan confirmation bias.

Thrust asymmetry (asimetris) adalah kondisi di mana posisi tuas throttle atay pengatur mesin tidak sama antara kanan dan kiri.

Boeing 737 memiliki dua mesin dengan dua tuas throttle di kokpit. Seperti apa efek thrust assymetry pada suatu penerbangan, dan bagaimana thrust asymmetry ini bisa terjadi dalam penerbangan SJ182?

Apa itu thrust asymmetry ?

Dalam penerbangan Sriwijaya Air SJ182, kedua throttle sedang berada dalam posisi maju untuk menghasilkan tenaga mesin besar, karena pesawat sedang mendaki ke ketinggian yang diinginkan.

Air Traffic Controller (ATC) kemudian memerintahkan SJ182 untuk berhenti di ketinggian 11.000 kaki, karena ada traffic/pesawat lain yang juga akan melintas.

Kru SJ182 pun "menahan" pendakian (climb) pesawat dengan mengatur altitude di 11.000 kaki sesuai permintaan ATC, menggunakan sistem autopilot dari mode control panel (MCP) di kokpit.

Setelah mendekati ketinggian 11.000 kaki, maka pesawat akan bertransisi dari fase climb (mendaki) ke cruise (menjelajah).

Dalam fase cruise ini, pesawat tidak membutuhkan thrust (daya dorong) yang besar seperti saat climb. Karena itu, sistem otopilot kemudian mengurangi thrust mesin dengan memundurkan throttle quadrant di kokpit.

Namun yang terjadi adalah, tuas throttle sebelah kanan tetap dalam posisi climb, sementara tuas throttle kiri bergerak mundur mengurangi tenaga sesuai petrintah autopilot, sehingga timbullah daya dorong berbeda antara mesin kanan dan kiri (thrust asymmetry).

Daya dorong berbeda ini membuat sikap pesawat serong (yaw). Mesin kanan yang tetap mengeluarkan daya dorong besar, sementara mesin kiri mengurangi tenaga, membuat sikap pesawat serong (yaw) ke kiri.

"Dari hukum aerodinamik, apabila pesawat sudah yaw (serong), maka selanjutnya akan menimbulkan roll (berguling)," kata Nurcahyo.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved