Berita Politik NTB
Pengamat Politik: Kampanye Black Campaign Ibarat Bomerang
Finarwanto mengatakan, tindakan semacam memblow up isu melalui skema black campaign dengan mengandalkan asumsi justru bisa menjadi bumerang.
Penulis: Lalu Helmi | Editor: Robbyan Abel Ramdhon
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Lalu Helmi
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Politik black campaign dinilai sudah tidak efektif lagi di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.
Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6, Bambang Mei Finarwanto mengatakan, tindakan semacam memblow up isu melalui skema black campaign dengan mengandalkan asumsi justru bisa menjadi bumerang.
"Memblow up Isu lewat skema black campaign yang hanya berdasarkan asumsi semata justru bisa menjadi sarana infotainment gratis menaikkan citra lawan politik di persepsi publik," kata Finarwanto kepada awak media, Minggu (23/10/2022).
Pria yang akrab disapa Didu itu melanjutkan, dalam situasi keterbukaan informasi dan demokratisasi seperti saat ini, gerakan kampanye hitam hanya menjadi sarana sales promotion gratis yang makin membesarkan citra baik lawan politik.
Baca juga: Kata PDIP Tentang Ganjar Siap Maju Capres, Bukan Pelanggaran dan Jangan Hanya Gimik
Hal ini bisa terjadi jika desaign kampanye politik hitam itu tendensius.
"Kesalahan fatal memakai strategi politik hitam, ketika menstigma publik mudah 'hanyut' dan terpesona oleh berbagai kecanggihan platform media yang dipakai mendelegitimasi citra lawan politik."
"Padahal makin kesini publik makin cerdas dalam memilih dan memilah berbagai informasi lewat satu klik," urai Didu.
Didu melanjutkan, gerakan kampanye politik beberapa dekade sebelumnya, mungkin bisa jadi efektif kala dilakukan secara manual.
Baca juga: Keberadaan Makam Datu Jukung Kambut di Lombok Tengah Jadi Perhatian Pemuda Setempat
Misalkan di saat publik tidak memiliki informasi penyeimbang karena teknologi digital belum berkembang pesat.
"Kesalahan taktik Politik Kampanye Hitam berawal ketika muncul asumsi subyektif yang mengira publik mudah digiring persepsinya."
"Ibarat marketing product, kampanye hitam yang dilakukan, diduga tidak diimbangi dengan melakukan mapping kecendrungan konsumen politiknya diberbagai strata," jelasnya.
Mantan Direktur Walhi NTB ini menggaris bawahi , yang perlu disadari, sekarang ada disparitas antara generasi milenial, generasi Z dan Alpha yang memiliki cara berpikir dan dimensi yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Sebagai ilustrasi, saat ini di kalangan anak muda lagi trend istilah FwB (Friend with Benefit ) yang mencerminkan relasi simbiosis mutualisme yakni pertemanan yang saling memberikan manfaat.
Sementara dalam politik, pertemanan cenderung bersifat interest dan ideologis yang tidak sepragmatis seperti FwB.
"Perlu disadari pula keberterimaan dan bisa cair di generasi era saat ini tentu butuh penyesuaian dan persiapan sosial yang tidak mudah."
"Mengingat mereka memiliki sekat ruang privasi yang eksklusif pada minat dan kesukaan yang sama yang kerap berjarak dengan realitas sosial kekinian, termasuk urusan Politik," pungkasnya.
(*)
Bergabung dengan Grup Telegram TribunLombok.com untuk update informasi terkini: https://t.me/tribunlombok.