Mengenal Kiki Sulistyo, Penulis Lombok Pertama Tampil di Pameran Buku Global The London Book Fair

Kiki Sulistyo pertama kali mengenal sastra ketika dirinya masih berusia SD

Penulis: Robbyan Abel Ramdhon | Editor: Wahyu Widiyantoro
Instagram @akarpohonmataram
Kiki Sulistyo 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Robbyan Abel Ramdhon

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK BARATPenulis Lombok Kiki Sulistyo menjadi yang pertama tampil di The London Book Fair.

Kiki Sulistyo pertama kali mengenal sastra ketika dirinya masih berusia SD.

Saat itu, ia tak sengaja membaca sebuah Cerpen dalam salah satu halaman di koran Kompas.

Baca juga: Sastrawan Kenamaan Indonesia Ungkap Sosok TGB di Balik Hadirnya Sirkuit Mandalika

Baca juga: Tuai Banyak Prestasi, Ini Daftar Sastrawan Lombok yang Sudah Masuk Kancah Nasional dan Dunia

“Saya ingat, cerpennya Ahmad Tohari, Mata yang Enak Dipandang (judulnya),” kenang penulis kelahiran Ampenan itu, Sabtu (9/4/2022).

Kelak kemudian, Kiki menyadari apa yang dibacanya dari tulisan Ahmad Tohari di Kompas itu merupakan sebuah karya sastra.

Singkat cerita, sampai dirinya duduk di bangku SMP, ia mulai menggeluti sastra sebagai jalan karir dan proses kreatifnya.

Sebagaimana para penulis lain yang memuat visi-visi tertentu dalam tujuan mereka menulis, Kiki pun mengakui hal tersebut juga berlaku padanya.

“Meski pun mungkin, tanpa semangat heroisme, tanpa semangat ingin membuat perubahan,” ucapnya.

Pria kelahiran 1978 itu tidak menutup kemungkinan bila selama proses kepenulisannya ada hal-hal dari kehidupan sosial yang diungkapkannya melalui karya.

“Karena saya bagian dari kehidupan sosial, tentu mau tidak mau selalu akan ada hal-hal yang ingin diungkapkan,” katanya.

Sebagian besar karya-karya Kiki Sulistyo banyak membicarakan berbagai aspek sosial dalam lingkup lokal.

Sebutlah “Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?” kemudian, “Rawi Tanah Bakarti”, hingga “Tuhan Padi”.

Buku-buku dalam deretan di atas terbit pada rentang waktu 2017-2021 dan hampir ketiganya menyandang status prestasi.

‘Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari’, meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa kategori puisi pada tahun 2017.

‘Kemudian Rawi Tanah Bakarti’, dinobatkan menjadi buku sastra terbaik pilihan Tempo tahun 2018.
Penghargaan yang sama juga diraih ‘Tuhan Padi’ pada tahun 2021.

Tuhan Padi, buku puisi yang merekam transisi kehidupan tradisional ke urban itu, kemudian melanjutkan perjalanan prestasinya hingga ke Inggris.

Tepatnya, ikut tampil mewakili Indonesia dalam gelaran literasi internasional, yaitu The London Book Fair 2022.

“Saya sendiri tidak tahu soal itu, sampai kemudian dapat kiriman surel dari panitia, bahwa ada tim kurator yang memilih buku-buku untuk dipamerkan dalam event itu, dan buku saya Tuhan Padi, termasuk satu di antaranya,” tutur Kiki.

The London Book Fair adalah kegiatan yang mengundang penerbit-penerbit dari seluruh negara di dunia untuk berkumpul membahas hak cipta, penjualan, dan distribusi tulisan di seluruh media.

Mulai dari saluran cetak, audio, TV, film, hingga Digital.

Kegiatan ini diadakan setiap tahun, meski pada tahun 2019, Indonesia memilih absen karena pandemi covid-19.

Maka tahun ini adalah kembalinya Indonesia untuk terlibat dalam gelaran literasi dunia itu.

Kiki mengatakan, peluang bagi penulis-penulis lain untuk dikenal lebih luas sampai ke mancanegara juga sangat memungkinkan terjadi.

“Itu juga ditentukan oleh pola komunikasi global yang sudah sangat terbuka. Sekarang sudah mulai banyak buku Indonesia yang diterjemahkan,” ukurnya.

Karena itu, ia menilai, perkembangan sastra Indonesia akan semakin bagus apabila problem-problem yang selama ini terjadi bisa teratasi.

“Seperti pembajakan buku, aspek ekonomi buku, pemetaan pembaca, semua hal itu harus dibicarakan untuk mengurai persoalan,” ungkapnya.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved