Bulan Ramadhan

Doa Wura B'ola dan Oha Mina, Tradisi Warga Bima Menjelang Bulan Ramadhan

Tradisi tersebut bernama Doa Wura B'ola atau doa terjaga pada bulan sya'ban memasuki bulan ramadhan.

Penulis: Atina | Editor: Dion DB Putra
ISTIMEWA
Oha Mina yang menjadi sajian wajib saat doa Wura B'ola di Bima, Nusa Tenggara Barat. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Atina

TRIBUNLOMBOK.COM, KOTA BIMA - Ramadhan merupakan bulan yang dinanti-nantikan oleh umat Islam di dunia termasuk di Bima, Nusa Tenggara Barat ( NTB).

Suku Mbojo yang ada di Bima memiliki tradisi doa yang khas menjelang ramadhan atau saat nifsu sya'ban.

Baca juga: Sukacita Pelaku UMKM Lombok Timur di Pancor Trade Center Sambut Ramadhan, Berharap Ekonomi Bangkit

Baca juga: Beragam Kegiatan di Islamic Center NTB Selama Ramadhan, Ada Bazar Kuliner hingga Lomba-lomba

Tradisi tersebut bernama Doa Wura B'ola atau doa terjaga pada bulan sya'ban memasuki bulan ramadhan.

Warga yang memiliki kemampuan akan mengundang kerabat, tetangga dan ulama untuk berdoa di rumahnya.

Biasanya, doa b'ola digelar pada malam hari, setelah salat isya di masjid.

Budayawan Bima, Alan Malingi mengatakan tradisi doa b'ola sudah lama berlangsung sejak Bima dimasuki peradaban Islam.

Perempuan Bima sedang membuat Oha Mina. Menu  khas yang disajikan menjelang bulan ramadhan.
Perempuan Bima sedang membuat Oha Mina. Menu khas yang disajikan menjelang bulan ramadhan. (ISTIMEWA)

Menurut Alan, doa b'ola tidak hanya momen untuk berdoa tapi juga sebagai cara untuk warga saling memaafkan sebelum memasuki bulan ramadhan.

"Sehingga dianggap sebagai cara mensucikan diri, sebelum menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan. Semua warga saling memaafkan terlebih dahulu dan bersilaturahmi," jelas Alan.

Hal yang unik dalam doa b'ola adalah, jangko atau daerah lain ada yang menyebutnya berkat.

Jangko disajikan tuan rumah kepada undangan seusai doa b'ola.

Jangko ini berisi Oha Mina, Oha berarti Nasi dan Mina berarti minyak.

Oha Mina terbuat dari beras ketan, yang dimasak dengan bumbu tertentu dan dilumuri minyak goreng.

Ada syarat khusus bagi mereka yang membuat Oha Mina, yang sangat dipegang teguh hingga saat ini, yakni perempuan tidak boleh dalam kondisi haid atau tidak suci.

Pada zaman dulu, ungkap Alan, Oha Mina biasanya dicampurkan dengan bawang goreng dan daging ayam hutan atau burung puyuh.

"Sebutan orang Bima Kawubu. Itu enak sekali. Kalau sekarang, diganti dengan hati sapi biasanya," kata Alan.

Selain Oha Mina, jangko juga dilengkapi dengan kue tradisional Bima dan pisang.

"Filosofinya, itu semua menggambarkan bagaimana suku mbojo sebenarnya," ungkapnya.

Pria yang kini mengelola Museum ASI Mbojo mengatakan, sejauh ini tidak ada pergeseran praktik dalam tradisi doa b'ola.

Warga Bima masih melestarikannya sehingga tradisi ini terjaga secara baik. (*)

Simak berita lain terkait Ramadhan

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved